KATA
PENGANTAR
Puj
isyukur kehadirat Allah SWT yang telah melimpahkan rahmatnya sehingga kita dapat
menyelesaikan tugas makalah yang berjudul ”Transisi Menuju Demokrasi” sesuai waktu
yang sudah di tentukan. Semoga dengan tugas makalah ini kita dapat menambah wawasan
tentang kewarganegaraan khususnya “Transisi Menuju Demokrasi”,dimana kita bias lebih
mengenal perkembangan demokrasi di Indonesia dari sebelum merdeka sampai sesudah
merdeka.
Kami
menyadari bahwa masih banyak kekurangan yang mendasar pada makalah yang kami
buat.Oleh karena itu kami meminta kritik dan saran pembaca, untuk menyempurnakan
makalah yang kami buat.
Akhir kata semoga makalah
ini dapat memberikan manfaat bagi kita semua.
I.
PENDAHULUAN
1.
LATAR
BELAKANG
Masalah
yang kami bahasa adalah Transisi Menuju Demokrasi yang menjelaskan Proses
Politik yang melibatkan berbagai kelompok yang berrjuang untuk memperoleh kekuasaan
untuk mendukung atau menentang demokrasi serta tujuan-tujuan lainnya.
2.
TUJUAN
1.
Untuk menambah wawasan kita tentang
perkembangan demokrasi.
2. Untuk
menyadarkan kita arti pentingnya perkembangan demokrasi.
3. Untuk
memenuhi tugas kelompok kewarganegaraan.
4. Untuk
meningkatkan Nasionalisme dalam diri kita.
3.
RUMUSAN
MASALAH
1. Pengetian
Transisi Menuju Demokrasi.
2. Gelombang
transisi menuju demokrasi
3. Tipe
atau proses Transisi Menuju Demokrasi.
4. Faktor
dan kendala transisi menuju demokrasi
5. Pemimpin
di masa transisi
6. Masa
Transisi Otoriter-Demokrasi
7.
Pergolakan Politik 1998 Sebagai Masa
Transisi
8.
Orde
lama – orde baru, reformasi
9.
Faktor
Penyebab Munculnya Reformasi
II.
PEMBAHASAN
·
Pengertian transisi menuju demokrasi
Dalam Kamus bahasa Latin, “Transisi” berasal dari kata “trans”dan “cendo”. Trans
sendiri berarti di seberang, di sebelah sana, dibalik, menyebrangi, sedangkan
cendo berarti melangkah ke sesuatu yang lain, berpindah. Jadi transisi berarti
melangkah ke seberang, berpindah ke sebelah sana. Pengertian “Transisi” dalam
kamus umum Bahasa Inggris karangan John Nt. Echols dan Hasan Shadily adalah
peralihan, dari kata “transition” yang juga bisa diartikan dengan masa
peralihan atau pancaroba. Apabila terminology “transition” ini digabungkan,
dengan istilah “power”; maka
padanan kata itu akan menjadi “power
transition” yang berarti “peralihan kekuasaan”. Sedangkan jika dipadukan
dengan kata demokrasi menjadi “transition
to democratic” yang berarti perubahan ke demokrasi atau peralihan ke
demokrasi. apabila kata “transition” itu
dipadukan dengan kata “democraticy” akan
menjadi “transition to democracy ”
yang berarti perubahan ke demokrasi atau peralihan ke demokrasi. Yang berubah
dan beralih di sini adalah suatu masa atau periode sebelum terjadinya transisi.
Periode itu adalah periode sebelum beralih ke demokrasi. Nama dari periode itu
adalah periode nondemokrasi, entah itu periode kekuasaan monarki absolut, kekaiseran sulstanistik, patrimonial,
kediktatoran pribadi, kediktatoran militer, kediktatoran partai atau
model-model lain dari rezim otoritarian. Jadi jelas bahwa defenisi
transisi di sini adalah suatu masa peralihan kekuasaan dari kekuasaan otoriter
ke kekuasaan demokratik atau dari sistem otoriter ke sistem demokratik..
Atau menurut kami transisi menuju demokrasi, yang pertama dari
kata transisi adalah masa peralihan dari keadaan (tempat, tindakan, dsb)
pada yang lain: masa -- , masa
peralihan; masa pancaroba: pada masa
-- pada umumnya keadaan belum stabil. Demokrasi adalah bentuk pemerintahan di mana hak-hak
untuk membuat keputusan-keputusan politik digunakan secara langsung oleh setiap
warga negara yang diaktualisasikan melalui prosedur Pemerintahan mayoritas,
yang biasa dikenal dengan sebutan Demokrasi langsung. Jadi transisi menuju
demokrasi adalah suatu keadaan yang ada dalam suatu Negara yang belum
dibentuk pemerintahannya atau suatu
keadaan yang ada dalam suatu Negara sebelum demokrasi.
Demokrasi menurut beberapa ahli :
Menurut Samuel
Huntington (1991:44), demokratisasi pada tingkatan yang sederhana mencakup
(1) sebuah rezim otoriter, (2) dibangunnya sebuah rezim demokrasi, (3)
konsolidasi. Jika mengikuti Robert A.
Dahl (1991:54), demokratisasi berarti Proses perubahan rezim otoritarian
(hegemoni atau pemimpin tertutup )yang tidak memberi kesempatan pada
partisipasi dan liberalisasi menuju poliarki yang memberi derajat kesempatan
partisipasi dan liberasasi yang
lebih tinggi. Transisi demokrasi pada suatu negara menurut Lipset (1963). Terjadi apabila terjadi pertumbuhan ekonomi dan
pertambahan masyarakat terdidik. la beralasan, dengan masyarakat yang
telah sejahtera secara ekonomi dan semakin tingginya tingkatan semakin terbuka
mekanisme pengambilan keputusan untuk urusan-urusan publik, dan semakin
terbukanya kesempatan untuk ikut berpartisipasi dalam menentukan
keputusan yang penting, yang menyangkut kepentingan publik. Argumen yang sama
tetapi dengan perspektif dan metode yang berbeda juga diungkapkan oleh Moore
(1996) Kalau Lipset lebih
bertumpu pada paradigma modernisasi, yang menyetujui lahirnya masyarakat
kapitalis, sedangkan Moore, lebih
bertumpu pada perubahan cara produksi feodolis ke cara produksi kapitalis. Sedangkan
menurut O’Donnell, Schmitte”, dan Whitehead (kelompok sarjana-sarjana
kiri) yang memfokuskan studi di Amerika Latin, beranggapan bahwa pembangunan di
negara-negara terbelakang dengan kapitalisme barat mensyaratkan adanya
stabilitas politik dengan menekan partisipasi massa dalam politik untuk
mengamankan pembangunan ekonomi dan modal kapitalis mancanegara. Agen yang
paling memungkinkan untuk menciptakan stabilitas politik ini adalah negara. di
bawah komando militer. Oleh karena itu demokrasi, di mana peran negara menjadi
begitu sentral, sementara massa disingkirkan dari proses menurut O’Donnell
pembangunan di negara-negara terbelakang bukannya mendorong politik. O’Donnell
menyebut fenomena ini sebagai Bureaucratic autliontarianism. Kritik terhadap Bureaucratic authoritarinnism telah
banyak dilakukan, termasuk oleh R.
William Liddle dan Saiful Mujani
(2000:56), thesis O’Donnell ini dibangun atas dasar pilihan atas kasus (case selection) secara selektif
sehingga biasa. O’Donnell tidak menghiraukan pembangunan ekonomi di
negara-negara “si Timu.- seperti Jepang, Korea Selatan, Taiwan, dan Hongkong
pada tahun 80-an. Mereka melakukan demokratisasi di negaranya dengan bertumpu
pada ekonomi pasar termasuk di Asia Tenggara negera-negara Bekas Uni Soviet,
dan Eropa Timur. Menurut Liddle dan Mujani setelah O’Donnel mengetahui bahwa
argumen Bureaucratic autlioritarianism
tidak realistik, penghujung tahun 80-an beralih ke pendakatan elite untuk
menjelaskan variasi muncul dan stabilnya demokrasi. Mereka berkesimpulan bahwa,
munculnya rezim demokasi adalah suatu “kebetulan” sejarah yang tidak bisa
dijelaskan. Elit dinilai penting dalarn proses transisi ke rezim demokrasi
tetapi kapan elit menjadi pro demokrasi dan kapan tidak, menurutnya tidak bisa
dijelaskan. Konsep ini juga telah dikritik oleh Prezeworski dan Lunongi,
yang datang juga dari lingkaran Kiri. Elit melakukan pro demokrasi karena
mereka menggunakan rational
choice theory (teori pilihan rasional) (Almond , 1990:117). Menurut pendekatan
ini elit ini, diasumsikan bahwa transisi jadi rezim nondemokrasi ke rezim
demokrasi sebagian besar ditentukan oleh inisiatif, kompromi, dan kalkulasi
rasional elit politik. Pilihan atas demokrasi dipandang memungkinkan elit
mencapai tujuan politiknya. Motif dan kalkulasi elit seperti ini tentu saja
akan ditemukan dikalangan elit politik pada umumnya.
Secara urut demokratisasi mencakup beberapa proses atau
tahapan yang saling berkaitan, yaitu: liberalisasi, transisi, instalasi dan konsolidasi.
Liberalisasi adalah proses mengefektifkan
hak-hak politik yang melindungi individu dan kelompok sosial dari tindakan
sewenang-wenang atau tidak sah yang dilakukan oleh negara atau pihak ketiga
(O’Donnell & Philippe Schimitter, 1986). Pada tahap ini biasanya ditandai kekuasaan
untuk membuka peluang terjadinya kompetisi politik, dilepaskannya tahanan
politik, dan diberikannya ruang kebebasan pers.
Ada
dua catatan yang bisa diajukan terhadap O’Donnell khususnya pada proses sebelum
memasuki tahap transisi. Dia tidak melakukan elaborasi yang menyeluruh mengenai tahap decomposing politics
sebelum tahap liberalisasi.
transisi, yaitu titik awal atau interval
(selang waktu) antara rezim otoritarian dengan rezim demokrasi. Transisi
diawali dengan keruntuhan rezim otoriter lama yang kemudian diikuti dengan
pengesahan lembaga politik peraturan politik baru di bawah payung demokrasi.
Pada tahap ini ditandai dengan adanya pemilu. Dalam konteks Indonesia tidak
partai perubahan format politik baru yang secara diametral berubah dari format
masa sebelumnya.
Konsolidasi tahap ini setelah transisi, Proses konsolidasi jauh lebih komplek
dan panjang dibandingkan transisi. la merupakan proses yang mengurangi
kemungkinan pembalikan demokrasi. Didalamnya diwarnai proses negosiasi. Pada
fase ini partai politik perlu melakukan pelatihan terhadap kader-kadernya media
massa, asosiasi-asosiasi perdagangan, lembaga-lembaga swadaya masyarakat perlu
mengembangkan kapasitasnya untuk bertindak secara mandiri terlepas pada
pengaruh negara dan ‘payung’ negara. Pada tahap ini sering juga disebut sebagai
tahap kampanye yang digerakkan pada dua front sekaligus. Di satu pihak adalah
perjuangan melawan kekuatan-kekuatan anti-demokratis yang mungkin tidak pernah
mau mengalah. Di pihak lain adalah perjuangan menampung unsur-unsur yang
bersifat memecah belah dari siste politik itu sendiri, misalnya persaingan
memperebutkan jabatan di pemerintahan dan godaan untuk memperlakukan politik
sebagai sebuah pertandingan di mana para pemenanglah yang menguasai semua
hadiah.
Minimal ada empat komponen atau pilar utama dari demokrasi
yang sedang berjalan, yaitu :
a.
pemilihan
umum yang bebas dan adil.
b.
pemerintahan
yang bertanggung jawab.
c.
hak-hak
politis dan sipil , dan
d.
suatu
masyarakat yang demokratis atau masyarakat Madani.
Jika transisi hanya menghasilkan otoritarian baru, maka
Konsolidasi yang terjadi adalah pemantapan rezim otoriter baru. sebaliknya,
jika yang dihasilkan transisi adalah instalati demokrasi maka rezim demokrasi
yang baru itu akan dikonsolidasi. Proses konsolidasi jauh lebih komplek dan
panjang dibandingkan transisi. la merupakan proses yang mengurangi kemungkinan
pembalikan demokrasi. Di dalamnya diwarnai proses negosiasi. Transisi hendak
mempromosikan sistem baru ketimbang merusak sistem lama. Transisi adalah
tahapan awal terpenting yang sangat menentukan dalam proses demokrasi. Sebagian
besar kajian para ilmuwan difokuskan pada transisi menuju demokrasi itu. Dalam
transisi pasti terjadi liberalisasi yang mungkin akan diakhiri dengan instalasi demokrasi.
·
Gelombang transisi menuju
demokrasi
Gelombang demokratisasi menghantam dunia Arab–Timur Tengah
baru pada 2011 kemarin, sedangkan Indonesia menjelang penutupan dekade 1990-an.
Transisi dan gelombang demokrasi ini, agak terlambat, karena Eropa
Selatan (Spanyol dan Portugal), Amerika Latin (Bolivia, Chilie, Argentina,
Brazil, Mexico, dll) dan negara-negara Asia (Philipina, Korea Selatan, Taiwan)
sudah mengalami demokratisasi 1970-an dan 1980-an.
Kajian teoritis-konseptual tentang demokrasi mula bergaung
ketika terjadi transisi ke demokrasi yang mulai marak pasca perang dunia kedua,
ketika banyak rezim otoritarian tumbang dari kursi kekuasaannya. Banyak ahli (expert) dan ilmuwan politik beralih
perhatian yang semula bersifat eropasentris
dan amerikasentris
membuka mata terhadap perkembangan di Eropa Selatan, kemudian ke Amerika Latin
dan Asia.
Perhatian dipusatkan pada bagaimana suatu rezirn otoritarian
yang tampak tangguh dan otonom roboh dalam sekejab mata. Ilmuwan Politik yang
banyak mengkaji tentang transisi ke demokrasi di antaranya adalah Robert Harvey
(Portugal : Birth of Democracy), Guillermo
O’Donnell dan Philippe Cschmitter (Transition
from Authoritarian Rule; Tentative Conclusions About Uncertain Democracies) dan
Huntington. Dalam “The Third Wave“, Huntington banyak
mengulas tentang transisi ke demokrasi dari rezim-rezim otoritarian.
·
Tipe atau proses Transisi
Demokrasi
Tiga (3) jenis proses demokratisasi
Dunia Ketiga sebagaimana dikemukakan oleh Samuel Huntington, yaitu:
1.
Transformasi,
terjadi ketika elit yang berkuasa mempelopori proses perwujudan demokrasi. Dalam transformasi,
pihak-pihak yang berkuasa dalam rezim otoriter mensponsori perubahan dan
memainkan peran yang menentukan dalam mengakhiri rezim itu dan mengubahnya
menjadi sebuah sistem yang demokratis.
Ciri-ciri proses Transformasi:
a.
Penguasa
dalam rezim otoriter mempelopori dan memainkan peran yang menentukan dalam
mengakhiri rezim tersebut sehingga mengubahnya menjadi suatu sistem yang
demokratis.
b.
Para
pemimpin rezim otoriter memiliki kekuatan untuk menggerakkan demokratisasi di
negaranya jika mereka memang ingin melakukannya.
c.
Dengan
demikian, transformasi mensyaratkan suatu pemerintahan yang lebih kuat daripada
pihak oposisi.
d.
Transformasi
terjadi dalam rezim militer yang telah mapan di mana pemerintah mengendalikan
alat-alat pemaksa.
e.
Para
pemimpin otoriter yang kehilangan kekuasaannya dalam proses transformasi ini
biasanya akan meninggalkan dunia politik dan kembali dengan tenang ke barak
atau ke kehidupan pribadi mereka secara terhormat.
Oleh karena itu, transformasi dalam proses demokratisasi
yang dilakukan oleh kelompok pembaharu demokratis dalam tubuh pemerintahan
otoriter dapat dilakukan melalui beberapa cara, antara lain:
a.
Mengamankan
basis politik dengan menempatkan segera pendukung-pendukung demokratisasi pada
posisi kunci kekuasaan dalam pemerintahan, partai politik, dan militer.
b.
Mempertahankan
legitimasi dengan mengadakan perubahan pada prosedur-prosedur yang telah mantap
dari rezim non-demokratis serta berupaya meyakinkan kelompok-kelompok
konservatif.
c.
Mengurangi
ketergantungan pada kelompok-kelompok di dalam pemerintahan yang menentang
perubahan.
d.
Di
sisi lain, harus memperluas basis pemilih serta pendukung yang mencakup
kelompok-kelompok oposisi pendukung demokrasi..
e.
Tetap
memegang kendali dan mengendalikan proses demokratisasi. Artinya, memimpin
proses demokratisasi hanya ketika berada dalam posisi yang kuat.
f.
Berupaya
mempertahankan proses demokratisasi yang sedang berlangsung.
g.
Memberi
dorongan bagi perkembangan suatu partai oposisi moderat yang bertanggung jawab,
di mana partai oposisi tersebut akan diterima oleh kelompok-kelompok utama
dalam masyarakat serta pihak militer sebagai suatu pemerintahan alternatif yang
dinilai “tidak berbahaya” bagi mereka.
h.
Menciptakan
kesadaran bahwa demokratisasi merupakan proses yang tidak bisa dihindari
sehingga proses tersebut dapat diterima masyarakat sebagai perubahan yang memang
secara wajar harus terjadi meskipun ada pula sebagian orang yang tidak
menghendaki proses demokrasi tersebut.
2.
Replacement
(pergantian), terjadi ketika kelompok Oposisi mempelopori proses perwujudan
demokrasi di mana kemudian Rezim Otoriter tumbang atau digulingkan. Replacement
merupakan sebuah transisi yang matang dan lemah, proses ini sangat tergantung
dengan kontinuitas perjuangan dari mereka yang memiliki komitmen yang kuat
dengan pembangunan demokrasi. Dan dalam kasus Indonesia dan juga sepertinya
Mesir replacement ini menampakkan wajah yang tidak sempurna. Namun jika
Indonesia dan Mesir memiliki cukup banyak tersedia kelompok sosial yang konsen
dengan demokrasi, maka replacement ini akan menjadi matang. Namun apabila
kelompok sosial itu sedikit maka berpeluang besar bahwa Transisi Demokrasi ini
berbalik arah menjadi Otoritarianisme Baru.
Ciri-ciri proses Penggantian (Replacement):
a.
Proses
replacement sangat berbeda dengan proses transformasi.
b.
Replacement
umumnya terjadi dalam transisi pada sistem diktator perorangan.
c.
Replacement
jarang terjadi dalam transisi pada sistem satu partai dan dalam transisi pada
rezim militer.
d.
Kedudukan
kelompok pembaharu yang mendukung demokratisasi masih lemah atau bahkan
kelompok tersebut tidak ada dalam rezim otoriter ini.
e.
Mahasiswa
memang merupakan kelompok oposisi yang bersifat universal. Mereka menentang
rezim apapun yang ada dalam masyarakatnya. Namun, mahasiswa tidak dapat
menumbangkan rezim tanpa adanya dukungan dari pihak lain.
f.
Unsur-unsur
yang mendominasi pemerintahan adalah kelompok konservatif yang gigih menentang
perubahan rezim otoriter. Dominasi kelompok konservatif inilah yang menyebabkan
timbulnya replacement.
g.
Akibatnya,
demokratisasi baru bisa terwujud jika kelompok oposisi makin kuat dan
pemerintah makin lemah sehingga rezim otoriter tersebut akan jatuh dengan
sendirinya atau karena digulingkan.
h.
Kelompok
yang dulunya merupakan kelompok oposisi kini berkuasa.
i.
Pemimpin-pemimpin
otoriter yang kehilangan kekuasaannya dalam proses replacement ini mengalami
nasib yang menyedihkan, yaitu diasingkan ke negara lain atau dihukum.
j.
Berbeda
dengan transformasi. Dalam replacement, tidak ada penekanan pada kesinambungan
prosedur dan legitimasi ke masa lalu. Lembaga, prosedur, gagasan, dan
orang-orang yang terkait dengan rezim terdahulu dianggap telah tercemar
sehingga menekankan pemutusan hubungannya dengan “masa lalu”.
k.
Pengganti
penguasa otoriter mendasari pemerintahannya pada “legitimasi ke masa depan”
serta mengurangi keterlibatannya atau memutuskan sama sekali hubungannya dengan
rezim terdahulu.
l.
Jika
timbul konflik di antara kelompok-kelompok dalam pemerintahan yang baru
mengenai bentuk rezim yang harus dilembagakan, biasanya konflik tersebut sering
memasuki suatu fase yang baru.
Replacement
dalam proses demokratisasi yang dilakukan untuk menggulingkan rezim
pemerintahan otoriter oleh kelompok moderat demokratis di pihak oposisi dapat dilakukan
melalui beberapa cara, antara lain:
a.
Memusatkan
perhatian pada sah atau tidaknya kekuasaan rezim otoriter yang dinilai
meragukan sebagai titik utama kelemahan rezim otoriter tersebut.
b.
Menyerang
rezim otoriter dengan berbagai isu umum yang menimbulkan keprihatinan banyak
orang seperti; korupsi, kolusi, nepotisme, serta “menggoyang” tindakan
pemerintah yang cenderung bertindak represif dengan melakukan tindak kekerasan
dalam membungkam masyarakat.
c.
Mempengaruhi
para jenderal agar setidaknya pihak militer tidak bersedia membela rezim
otoriter yang sedang berkuasa jika terjadi penggulingan kekuasaan. Bahkan, jika
mungkin membujuk pihak militer agar mau mendukung atau bergabung dalam upaya
menggulingkan rezim otoriter yang berkuasa.
d.
Mempraktikkan
dan menganjurkan aksi kudeta tanpa kekerasan sehingga mudah memperoleh dukungan
dari angkatan bersenjata.
e.
Merebut
setiap peluang untuk menyatakan oposisi terhadap rezim otoriter yang sedang
berkuasa, termasuk menentang pemilihan umum yang diselenggarakan oleh rezim
tersebut.
f.
Membina
hubungan dengan media massa internasional, organisasi-organisasi HAM di luar
negeri, serta berbagai organisasi transnasional. Terutama, memperoleh dukungan
dari Amerika Serikat.
g.
Menggalang
persatuan di antara kelompok-kelompok oposisi hingga pada taraf tertentu dapat
mendirikan suatu koalisi yang besar, di mana koalisi tersebut terdiri dari
berbagai organisasi yang dapat memayungi semua kelompok oposisi untuk
melancarkan kerjasama di antara mereka.
h.
Segera
mengisi kevakuman kekuasaan setelah rezim otoriter tersebut jatuh
Upaya
mengisi kekosongan kekuasaan dapat dilakukan dengan cara:
1.
Mengajukan
seorang pemimpin yang populer, memiliki kharisma, dan mendukung demokrasi.
2.
Menyelenggarakan
pemilihan umum secepatnya guna memperoleh legitimasi rakyat bagi pemerintahan
demokratis yang baru.
3.
Membangun
legitimasi internasional dengan menggalang dukungan dari para pelaku di luar negeri
atau pelaku transnasional seperti; organisasi-organisasi internasional,
pemerintah Amerika Serikat, Masyarakat Eropa, dsb.
3.
Transplacement,
terjadi jika demokratisasi merupakan hasil dari tindakan yang dilakukan secara
bersama-sama oleh kelompok pemerintah dan kelompok oposisi. Kelompok konservatif
dalam rezim berada pada posisi yang seimbang dengan pemerintah, tetap
pemerintah sendiri hanya bersedia merundingkan perubahan, dan tidak mau
memprakarsai perubahan rezim. Hal ini sangat berbeda dengan adanaya
dominasi kelompok konservatif yang menimbulkan replasemen.
Ciri-ciri dari proses transplacement :
a.
Demokratisasi
merupakan hasil aksi bersama pemerintah dan kelompok oposisi.
b.
Terdapat
keseimbangan di antara kelompok pengusung demokrasi dengan kelompok
konservatif.
c.
Pemerintah
bersedia merundingkan pembaharuan namun tidak mau memprakarsai suatu perubahan
rezim.
d.
Pemerintah
harus didorong atau ditarik ke dalam perundingan dengan pihak oposisi, baik itu
perundingan formal atau informal.
e.
Di
pihak oposisi, kelompok moderat yang demokratis cukup kuat untuk mengendalikan
kelompok radikal yang anti-demokrasi. Namun, pihak oposisi ini kurang kuat
untuk menggulingkan pemerintahan rezim otoriter. Oleh karena itu, perundingan
dengan pemerintah yang berkuasa merupakan satu-satunya cara yang dapat ditempuh
oleh pihak oposisi.
f.
Dalam
transplacement yang berhasil kelompok yang mendominasi pemerintahan dan pihak
oposisi saling menyadari bahwa mereka tidak mampu menetapkan sistem politik
negaranya di masa depan jika hanya dilakukan secara sepihak.
g.
Dengan
demikian, transplacement dapat terjadi jika kepercayaan kedua belah pihak itu
telah berubah, yaitu pihak oposisi telah menyadari bahwa mereka sebenarnya
tidak cukup kuat untuk menggulingkan pemerintahan yang berkuasa.
h.
sementara pemerintah juga menyadari
bahwa pihak oposisi sebenarnya cukup kuat untuk memaksa pemerintah karena:
1).
Dapat melenyapkan kelompok-kelompok konservatif dari pemerintahan.
2). Menciptakan perpecahan hebat di dalam tubuh pemerintah yang berkuasa.
3). Meningkatkan kemungkinan terjadinya pengambilan pemerintahan oleh kelompok garis keras.
4). Menimbulkan kerugian legitimasi internasional yang cukup besar.
2). Menciptakan perpecahan hebat di dalam tubuh pemerintah yang berkuasa.
3). Meningkatkan kemungkinan terjadinya pengambilan pemerintahan oleh kelompok garis keras.
4). Menimbulkan kerugian legitimasi internasional yang cukup besar.
Proses transplacement seringkali
melibatkan langkah-langkah yang berbeda, seperti:
1.
Pemerintah
sibuk dengan proses liberalisasi dan mulai kehilangan kekuasaan serta
otoritasnya.
2.
Kemudian
pihak oposisi mengeksploitasi longgarnya kekuasaan dan otoritas pemerintah,
kemudian memanfaatkan kondisi pemerintah yang sedang lemah untuk memperluas dukungan
dan mengintensifkan kegiatannya dengan harapan bahwa mereka akan segera mampu
menjatuhkan pemerintah yang berkuasa.
3.
Pemerintah
bereaksi keras dengan membendung dan menekan upaya pihak oposisi yang sedang
memobilisasi kekuasaan politik.
4.
Pemerintah
dan para pemimpin oposisi menyadari munculnya kekuatan tandingan yang seimbang
dan mulai menjajaki berbagai kemungkinan untuk mengadakan transisi yang disetujui
kedua belah pihak.
Proses
yang melibatkan berbagai pihak :
a.
Transplacement
dalam proses demokratisasi yang dilakukan oleh kelompok pembaharu demokratis di
pemerintah saat melakukan suatu perundingan dengan pemerintah otoriter yang
berkuasa dalam upayanya mewujudkan perubahan rezim dilakukan melalui beberapa
cara, antara lain:
1.
Mengucilkan
dan melemahkan kelompok konservatif yang ada dalam kelompok oposisi.
2.
Mengkonsolidasikan
kendali atas pemerintahan dan aparat politik.
3.
Merebut
prakarsa dan melakukan sesuatu yang mengejutkan kelompok oposisi serta kelompok
konservatif dengan konsesi-konsesi yang dapat diberikan.
4.
Memperoleh
persetujuan dari para jenderal yang memegang peranan penting serta persetujuan
dari para pejabat tinggi dalam jajaran keamanan atas pelaksanaan perundingan
bagi terciptanya suatu perubahan rezim.
5.
Berupaya
meningkatkan wibawa, wewenang, dan sikap moderat mitra runding utama dari pihak
oposisi.
6.
Menciptakan
“saluran-saluran belakang” yang bersifat rahasia dan dapat dipercaya untuk
merundingkan masalah utama dengan para pemimpin oposisi.
7.
Jika
perundingan berhasil, maka kelompok pembaharu demokratis kemungkinan besar akan
berada di pihak oposisi. Mereka harus menekankan adanya perolehan jaminan dan
perlindungan atas hak-hak pihak oposisi serta kelompok-kelompok yang terkait
dengan pemerintah, misalnya militer.
b.
Transplacement
dalam proses demokratisasi yang dilakukan oleh kelompok moderat demokratis di
pihak oposisi saat melakukan suatu perundingan dengan pemerintah otoriter yang
berkuasa agar dapat mewujudkan perubahan rezim dilakukan melalui beberapa cara,
antara lain:
1.
Mempersiapkan
kelompok moderat demokratis di pihak oposisi untuk memobilisasi
pendukung-pendukung kelompoknya guna melakukan demonstrasi karena demonstrasi
juga dapat melemahkan kelompok konservatif dalam pemerintahan.
2.
Mampu
mengontrol diri dan tampil seperti seorang negarawan.
3.
Mempersiapkan
diri untuk melakukan perundingan. Jika perlu, memberikan konsesi mengenai semua
isu kecuali tentang penyelenggaraan pemilihan umum yang bebas dan adil.
4.
Menyadari
besarnya kemungkinan bahwa kelompok oposisi akan memenangkan pemilu. Oleh
karenanya, jangan melakukan tindakan yang nantinya akan menyulitkan oposisi
dalam menjalankan pemerintahan.
c.
Transplacement
dalam proses demokratisasi yang dilakukan oleh pejuang demokrasi di kalangan
pemerintah maupun di kalangan oposisi ketika berunding dengan pemerintah
otoriter yang berkuasa guna mewujudkan perubahan rezim dilakukan melalui
beberapa cara:
1.
Meraih
semua kesempatan yang ada dan segera bergerak dengan cepat untuk menyelesaikan
isu-isu pokok. Sebab, keadaan politik yang mendukung transisi yang dirundingkan
tidak akan berlangsung dalam waktu lama.
2.
Menyadari
bahwa masa depan demokrasi sangat tergantung pada keberhasilan kelompok pejuang
demokrasi dalam mencapai kesepakatan mengenai transisi menuju demokrasi.
3.
Menolak
tuntutan para pemimpin dan kelompok-kelompok di pihak pejuang demokrasi yang
dapat menyebabkan proses perundingan tertunda atau dapat mengancam kepentingan
utama pendukung kelompok pejuang demokrasi.
4.
Menyadari
bahwa keklompok-kelompok radikal dan konservatif di kalangan pemerintah maupun
oposisi mungkin akan menolak persetujuan yang telah dicapai. Namun, mereka
takkan dapat memiliki alternatif lain untuk memperoleh dukungan secara luas.
5.
Mengadakan
kompromi jika terdapat keragu-raguan.
·
Faktor Penopang dan kendala Transisi
menuju Demokrasi
Tiga
faktor ini memiliki pengaruh yang sangat besar terhadap pembangunan Demokrasi,
yaitu
1.
Pembangunan
Ekonomi, Menurut Huntington Pembangunan Ekonomi ini akan melahirkan tiga hal
esensial bagi demokrasi :
a.
Tingkat
moral pendidikan yang tinggi yang mendukung demokrasi,
b.
Perluasaan
kelas menengah dan penambahan jumlah borjuasi yang menopang demokrasi,
c.
Membentuk
budaya warga masyarakat, kepercayaan, tanggung jawab dan kompetisi yang sehat.
2.
Civil
Society, merupakan asosiasi politik yang mempelajari tentang demokrasi, dimana
setiap warga Negara dapat belajar tentang seni berasosiasi. Disini semua warga
Negara belajar mengubah pandangan mengorganisir diri sebagai bentuk otonomi dan
independensi mereka dalam bernegara. Titik
terangnya adalah civil society sebagai tempat yang mempelajari tentang
demokrasi. Dan dalam demokrasi itu sendiri mempunyai aturan yang sangat jelas
dalam menyelesaikan persoalan dalam masyarakat, sehingga menutup kemungkinan
adanya tindakan barbarian (main hakim sendiri).
Civil Soceity sebagai ruang (space) merupakan tempat yang
potensial bagi pertumbuhan demokrasi, karena dalam ruang inilah setiap individu
dan kelompok sosial dalam masyarakat saling berinteraksi, berkomunikasi,
berdialog, berdiplomasi, bernegosiasi tentang berbagai realita sosial yang ada
dalam masyarakat. Dalam ruangan ini pula kepentingan privat dan kepentingan
publik akan bertemu. Dan ruang ini bisa berupa Alun-alun, kantor DPRD, taman
kota, masjid dll. Atau bisa juga berbentuk institusi publik yang secara
normatif dan prosedural mengatur dan memperjuangkan berbagai jenis kepentingan
masyarakat, seperti LSM, Organisasi Sosial Politik, Organisasi Kemasyarakatan
Umum yang termasuk didalamnya Organisasi Mahasiswa.
Hubungan antara Civil Society, Ruang, Kepentingan dan
Demokrasi
3.
Perluasan
Kelas Menengah. Kelas Menengah yang kuat akan menopang demokrasi, karena
semakin banyak kelas menengah semakin tinggi tingkat partisipasi mereka
dalam berbagai bidang baik itu ekonomi, sosial, politik, budaya dll.
Kendala Proses Transisi Demokrasi
Beberapa
peristiwa dunia akhir ini, ditandai dengan maraknya gerakan massa yang menuntut
perubahan mendasar terhadap struktur politik dan ketatanegaraan, selain
menuntut perbaikan sosial-ekonomi. Itu semua oleh pengamat disebut sebagi gelombang transisi menuju demokrasi dalam skala dunia.
Runtuhnya tembok Berlin, gerakan pro-demokrasi di Hongaria/ Cekoslowakia,
termasuk di belahan negara sosialis seperti Eropa Timur, Cina, Vietnam, dan
Nikaragua, Yugoslavia merupakan bukti atas gerakan itu. Sehingga, sejak awal
dasa warsa delapan puluhan, di negara-negara itu dapat dikatakan tidak mengenal
“tanpa “desakan rakyat”.
Itu
semua oleh, Francis Fukuyama (1992: 7-12.),
dianggap sebagai proses yang sangat menjanjikan terhadap proses demokrasi.
Proses itu menurutnya dianggap sebagai proses menuju the end of historis, yang berwujud kemenangan kapitalisme, dan
demokrasi liberal di seluruh bumi. Melihat fenomena ini Fukuyama yakin bahwa
proses sejarah demokrasi di dunia dapat diprediksi berjalan secara linier
utopis. Sehingga Fukuyama yakin seluruh dunia akan menganut sistem demokrasi
sebagai sistem pemerintahan terbaik, dengan demikian the end of historis akan terlaksana.
Proses
demokrasi yang diprediksi oleh Fukuyama akan berjalan linier, di bawah payung
ekonomi liberal produk dari proyek pencerahan (enlightenmeney). Hal ini ternyata masih perlu dipertanyakan,
termasuk dalam penelitian ini akan berusaha membuktikan linieritas proses
demokratisasi yang meliputi liberalisasi, transisi, dan konsolidasi dari
Huntington.
Minimal
ada dua kendala dalam proses transisi demokrasi, yaitu kendala
internal dan eksternal. Di Eropa Timur
muncullah aksi-aksi protes bercorak rasial seperti di Jerman dan Perancis,
gejolak konflik etnis dan agama, seperti di Cekoslowakia dan Indonesia,
termasuk di bekas Yugoslavia dan bekas Uni Sofyet, munculnya kembali aspirasi
komunis seperti di Polandia dan Rusia. Di Cina hambatan internal berupa
pembantaian berdarah di lapangan Tiananmen (Wang, 1997).
Richard
Rose (2000) dalam penelitiannya yang membahas hambatan demokrasi tingkat adtvice di Austria dan Switzerland, menyimpulkan bahwa
Consensus antar elit partai runtuh :
a.
setiap
orang mempunyai perbedaan kebutuhan dalam menentukan masa depan
pemerintahan dan partainya,
b.
adanya
provokasi antar pendukung partai sehingga memperuncing konsensus yang telah
disepakati.
Hambatan
eksternal dan juga internal secara bersama-sama banyak ditemui di negara
Amerika Latin, Afrika dan Asia, di mana kilter menunjukkan tanda-tanda tidak
mau kembali ke barak. Di Asia sebagai contoh Indonesia, Korea Selatan, Taiwan,
Filipina, Vietnam, dan Kamboja proses transisi juga masih menemui kendala baik internal
maupun eksternal (Curtis,1997). Di Amerika Latin, seperti di Cili, Brazil,
Argentina, Venezuela, Nikaragua, ([an Meksiko
demokrasi juga masih menemui hambatan (Whitehead 2000). Di Afrika dan Timur
Tengah, seperti Iran, Mesir, Marokn Negeria, Sudan, Arab Saudi, Oman demokrasi
juga masih saneat alot (Johanbegloo, 1997). Kasus yang lebih tragis lagi adalah
di Aljazair, Irak Libia Somalia, El-Salvador, Guatemala, Paraguay, Myanmar,
Korea Utara, di mana demokrasi telah hilang kembali dari putaran negara itu,
berubah menjadi negara yang otoriter-diktator. Kendala internal dan eksternal
sama kuatnya menghalangi proses-proses politik yang mengarah pada proses
transisi demokrasi, termasuk di Indonesa, dengan tidak menutup kemungkinan
transisi demokrasi di pedesaan juga akan menemui berbagai kendala meskipun
dikemas dalam bingkai otonomi.
Kendala yang muncul pada tingkat
nasional dapat dikategorikan menjadi enam yaitu:
a.
ancaman
disintegrasi bangsa.
b.
konflik
SARA.
c.
tidak
ada penegakan hukum.
d.
ancaman
kebebasan pers dari intimidasi.
e.
ancaman
militerismg.
f.
kurupsi
meraja lela
Sedangkan
kendala pada tingkat desa dapat diidentifikasi seperti :
a.
menguatnya
etnisitas.
b.
budaya
masyarakat desa yang bertentangan dengan demokrasi seperti offer permisive dan terlalu percaya dan patuh pada
pimpinan,
c.
rendahnya
tingkat pendidikan politik.
Perspektif Transisi Menuju Demokrasi
Ada
empat perspektif arus utara yang menjelaskan proses transisi menuju
demokrasi skala global dan
perubahanpolitik di Indonesia yaitu:
1.
pendekatan
yang berpusat pada masyarakat,
2.
pendekatan
yang berpusat pada negara,
3.
pendckatan
kontingensi elite, dan
4.
pendekatan
kontekstual yang berfokus pada lingkungan terbesar
yang melengkupi proses transisi.
·
Memimpin di masa transisi
Era Reformasi disebut
sebagai masa transisi menuju demokrasi. Pada saat ini dibutuhkan pemimpin yang
memahami perubahan. Saat ini kita sudah mengerti bahwa pemerintahan tidak bisa
terus menerus dikelola dengan mengulangi praktik dan cara masa lalu. Ini
terjadi karena transisi muncul dalam setiap upaya pada saat perubahan. Transisi
menempatkan manusia ke dalam perubahan. Perubahan bersifat eksternal
(kebijakan, praktik, struktur berbeda yang ingin diwujudkan pemimpin). Masalahnya
sebagian pemimpin membayangkan bahwa transisi terjadi secara otomatis,
kenyataannya tidak demikian. Transisi terjadi karena adanya perubahan. Bahkan
ketika perubahan menunjukan tanda-tanda akan berhasil masih ada masalah waktu.
Sebab transisi
jauh lebih lambat dibanding dengan perubahan mencakup tiga proses,
1.
meninggalkan cara lama yang membuat orang sukses di
masa lampau.
2.
merubah menjadi netral, mengatasi ketidakpastian dan
mengerjakan apa yang diminta.
3.
maju dengan berperilaku dengan cara yang baru
Jenis
kepemimpinan yang paling efektif saat ini adalah wujud bantuan kolaboratif yang
bersifat pemecahan masalah dan pengembangan target berupa situasi sekaligus
kemampuan professional sesorang.
Kepemimpinan
Visioner di Abad ke-21
Para pemimpin yang efektif
selalu mempunyai rencana, mereka berorientasi penuh pada hasil yang akan
dicapai:
1. Mereka
mengadopsi visi-visi baru yang menantang yang dibutuhkan dan bisa dijangkau.
2. Mereka
mengkomunikasikan visi-visi tersebut dan mempengaruhi orang lain sehingga arah
baru mereka mendapat dukungan dan bersemangat memanfaatkan sumber daya dan
3. energy
yang mereka miliki untuk mewujudkan visi-visi tersebut.
Organisasi pada
abad 21 membutuhkan
1. kepemimpinan yang visioner. Organisasi manapun tidak
dapat berfungsi tanpa kepemimpinan visioner, karena organisasi yang dipengaruhi
oleh perubahan teknologi yang sangat cepat. Kebutuhan akan kepemimpinan
visioner bukan saja untuk kekuatan yang menyatukan ribuan tugas, melainkan tidak
ada cara lain untuk menampung energy atau kejeniusan para pekerja
berpengetahuan tanpa kepemimpinan visioner.
2. Kekuatan
pada organisasi-organisasi abad 21 cenderung mengalir kepada mereka yang
mempunyai kapasitas untuk menghadapi tantangan dan menginspirasi professional.
Tingkat pengaruh dan kompleksitas global menyebabkan sebuah visi tertentu hanya
bermanfaat untuk waktu yang terbatas.
3. Organisasi
abad ke 21 menekankan peran pemimpin visioner sebagai agen perubahan,
mempromosikan eksperimentasi, menciptakan perubahan dan menetapkan budaya
perusahaan yang di dalamnya menyangkut keberanian mengambil resiko dan
partisipasi yang luas sangat menghargai.
·
Masa Transisi
Otoriter-Demokrasi
Pemerintahan
otoriter Orde Baru yang menekan dan membelenggu masyarakat menimbulakn
kejenuhan dalam benak. Kejenuhan masyarakat terhadap pemerintahan Orde Baru
telah memunculkan berbagai gerakan-gerakan politik masyarakat terutama kalangan
mahasiswa. Gerakan-gerakan politik yang terus mendesak pemerintahan otoritarian
Soeharto akhirnya berujung pada kejatuhan rezim Orba. Kejatuhan
rezim Orba merupakan starting point
bagi NKRI dalam merubah haluan sistem pemerintahan dari Otoriter yang
diterapkan Soeharto menjadi negara demokrasi. Demokrasi yang dimaksud bukan
hanya mengadopsi sebagian prinsip demokrasi, melainkan demokrasi yang
diidam-idamkan dan berusaha untuk diwujudkan adalah demokrasi yang
terkonsolidasi. Demokrasi yang terkonsolidasi merupakan demokrasi yang
menyeluruh, setiap elemen-elemen negara menerapkan sistem demokrasi yang baik
dalam mencapai kestabilan ketatanegaraan. Oleh karena itu, Indonesia saat ini
belum dikatakan sebagai negara Demokrasi
yang terkonsolidasi, melainkan masih menuju ke titik tersebut yang disebut
dengan era transisi. Hasil dari kejatuhan rezim otoriter adalah
liberalisasi politik dimana setiap hak warga negara diperjuangkan. Perjuangan
tersebut baru muncul setelah katup politik terhadap masyarakat terbuka, yang
dulunya dalam masa otoriter masyarakat hanya penonton dalam perpolitikan,
sekarang masyarakat telah menjadi salah satu inti dari perpolitikan suatu
negara sehingga masyarakat bebas membuat kelompok dan bersuara depan pemerintah
untuk menggunakan hak-hak yang dimiliki. Partisi politik masyarakat ini
akhirnya ngetren di kalangan masyarakat. Kebebasan yang telah terkungkung
selama ini pada masa otoriter meledak dan menjadi suatu euphoria masyarakat atas kebebasannya. Euphoria sendiri didukung dengan keadaan negara yang lemah
karena masih dalam penataan ulang pasca reformasi besar-besaran. Pascareformasi 1998, masyarakat
seolah-olah bebas dan merdeka untuk yang kedua kalinya setelah melawan
penjajah. Masyrakat menjadi lebih berani dalam melancarkan aksi-aksinya dalam
menyampaikan aspirasinya kepada pemerintah. Termasuk melakukan protes-protes
kepada pemerintah baik yang bersifat demonstrasi yang tertib maupu yang
anarkis. Bahkan juga mengungkit masalah-masalah pelanggaran-pelanggaran yang
telah di perbuat pemerintah Orba, seakan-akan masyarakat meminta
pertanggungjawaban pemerintah atas perlakuannya selama ini terhadap rakyat.
seperti inilah keadaan masyarakat sekarang ini di masa transisi.
Konflik Horizontal
Indonesia
dikenal sebagai negara “warna-warni”. Mulai dari suku, ras, agama, warna kulit,
sampai pada lautan yang memisahkan antar individu. Semua itu bukanlah masalah
bagi tegaknya negara ini, terbukti dari catatan sejarah yang telah dilukis oleh
bangsa ini sebagai bangsa yang memiliki rasa toleransi yang tinggi dengan
bersatunya seluruh elemen bangsa dalam memperjuangkan kemerdekaan. Namun, semua
itu telah gugur pada jaman transisi menuju demokrasi yang terkonsolidasi. Sebenarnya
konflik horizontal telah banyak bermunculan sebelum kejatuhan Soeharto. Konflik
tersebut muncul dikarenakan rasa kekecewaan masyarakat yang menggumpal pada
pemerintah. Di lain sisi, masyarakat tak mampu menghadapi kekuatan pemerintah sehingga
yang menjadi korban pelampiasan adalah golongan-golongan minoritas baik itu
secara etnis maupun budaya. Kasus konflik horizontal di era transisi sendiri
berbeda dengan era pra jatuhnya Orba. Pemicu konflik horizontal yang terjadi
akhir-akhir ini bukan hanya pada perbedaan kultur dan etnis, namun yang menjadi
pemicu adalah perbedaan kepentingan, garis politik, serta cita-cita ideologis.
Perputaran Roda
Keteraturan-Ketidakteraturan
Jaman
berganti bagaikan roda yang berputar, kadang diatas kadang dibawah. Indonesia
pada masa penjajahan merupakan jaman ketidak teraturan atau terbengkalainya
kebangsaan Indonesia, kemerdekaan dan menjadi stabil dan teratur dengan
berbagai macam sistem pemerintahan yang telah diterapkan. Jaman ini adalah
jaman pergantiaan atau era transisi yang harus dijalani dimana perubahan dengan
berbalik 180° dari sistem Otoriter menjadi Demokrasi yang terkonsolidasi adalah
suatu langkah yang berat sehingga membutuhkan banyak perubahan dan penyesuaian.
Dalam masa transisi, penempatan dan pengaturan elemen-elemen sosial
kemasyarakatan masih belum jelas dan terinci yang menyebabkan setiap
kelompok-kelompok social masih mencari tatanan hidup mereka dengan melakukan aksi-aksinya
agar pemerintah bisa memberikan posisi yang tepat bagi kelompok-kelompok
tersebut. Biasanya konflik terjadi karena hal-hal yang sepele seperti
ketersinggungan dan kesalah pahaman yang belakangan ini sangat sering terjadi.
Oleh karena itu, wajarlah jika pada akhir-akhir ini di masa transisi ini
terjadi banyak gejolak social dalam bentuk konflik horizontal dan semua negara
mengalami gejala-gejala seperti ini saat dalam masa transisi. Sesuai dengan
penelitian Ted Robert Gur yang menyatakan bahwa meletupnya konflik horizontal
terjadi di era transisi. Jadi tidaklah heran jika di negara kita akhir-akhir
ini banyak terjadi konflik horizontal yang merupakan suatu proses dalam
mencapai suatu kestabilan kembali sesuai dengan perputaran roda ketidakteraturan
menuju keteraturan yang suatu saat penghujungnya akan mencapai kestabilan
kembali. Untuk mengarahkan jalannya masa transisi ini kearah yang benar,
dibutuhkan juga peran pemerintah dalam masyarakat sebagai penetrasi atau
penengah dalam resolusi konflik. Jadi berdasarkan ulasan diatas,
masalah-masalah bernuansa SARA akhir-akhir ini bukanlah semata-mata karena
ketidak seriusan pemerintah, melainkan kejadian-kejadian tersebut adalah suatu
proses tercapainya keteraturan yang baru yakni demokrasi yang terkonsolidasi. Dalam
rentang waktu kurang lebih 5 tahun terakhir ini, telah banyak kasus bernuansa
SARA terjadi di Indonesia. Kejadian-kejadian yang berpotensi SARA pada 5 tahun
terakhir ini dimulai dari kasus 31 pembakaran
rumah terhadap keluarga yang beraliran Ahmadiah di Lombok Barat oleh
sekelompok warga pada Februari 2006, disusul dengan penyerangan terhadap kelompok Ahmadiah pada Desember 2007 di
Jawa Barat dan Mei 2008 di Sukabumi. Kasus lain yakni penyerangan terhadap
iring-iringan jemaat Huria Kristen Batak Protestan (HKBP) di Bekasi pada
September 2010 dan pembakaran madrasah Al-Mahmud milik Ahmadiah yang dilakukan
oleh sekelompok massa pada 27 Desember 2010. Tak hanya berakhir pada kasus
tersebut.Puncak dari kasus-kasus yang berpotensi menjadi konflik SARA
(suku, agama, rasa, dan antar golongan) terjadi pada tanggal 6 Februari 2011
yang menewaskan tiga orang jemaah Ahmadiah dan tujuh orang lainnya luka-luka
akibat penyerangan kediaman pimpinan Ahmadiah di kampung Peundeuy, Desa
Umbulah, Kecamatan Cikeusik yang diserang oleh ribuan massa. Menyusul
setelah penyerangan Ahmadiah, pada tanggal 7 Februari 2011 terjadi lagi pembakaran gereja di Temanggung yang
menyebabkan sembilan orang luka-luka serta kerusakan tiga gereja. Konflik telah
banyak terjadi dalam 5 tahun terakhir ini, terutama konflik-konflik yang
bernuansa SARA.
·
Politik
1998 Sebagai Masa Transisi
Dari Krisis
Ekonomi ke Krisis Legitimasi
Memasuki awal tahun 1998 krisis ekonomi melanda hampir
sebagian besar di negara di dunia tidak terkecuali Indonesia. Bahkan
negara-negara di Asia Tenggara menjadi negara yang paling parah dilanda krisis
ekonomi ini. Di Indonesia sendiri terjadi tingkat
inflasi yang sangat tinggi sehingga melemahkan nilai mata uang rupiah terhadap
mata uang asing. Keadaan ini membuat haarga barang-barang menjadi naik, sehingga
sulit bagi masyarakat (terutama kelas menengah kebawah) untuk memenuhi kebutuhan hidupnya. Sehingga
banyak terjadi kelaparan dimana mana. Krisis ekonomi yang terjadi tersebut ternyata tidak mampu
diatasi oleh pemerintah. Pemerintah sepertinya telah kehilangan langkah
strategisnya untuk memulihkan perekonomian dari terpaan badai krisis yang
sangat dahsyat. Kelaparan yang terjadi
dimana-mana membuat rakyat bertindak nekat dengan menjara bahan-bahan makanan
dari tokoh-tokoh terdekat (terutama yang pemiliknay etnis keturunan).
Kondisi ini membuat situasi negara menjadi sangat kacau. Rakyat mulai gelisah
dengan keadaan negara. Bukan saja karena kondisi perekonomian yang sangat
memburuk, tetapi juga alasan keamanan
yang semakin tidak terjamin.
Tindakan kejahatan dapat terjadi dimana-mana. Ini membuat
masyarakat (terutama masyarakat keturunan) menjadi sangat takut untuk keluar
rumah. Hal ini menyebabkan kondisi negara menjadi tidak stabil. Rakyat pun
mulai mempertanayakan peran negara dalam mengatasi masalah yang semakin kacau.
Rakayat sepertinya mulai ragu akan kemampuan negara untuk mengatasi krisis dan
mengatasi masalah kestabilitasan negara. Rakyat mulai tidak menaruh harapannya
kepada negara untuk menyelesaikan masalah yang mereka hadapi, sehingga mereka
berusaha untuk mnyelesaikan masalah mereka sendiri. Saling rebut-merebut
makanan pun terus terjadi, tidak ada lagi yang dapat menjamin kesalmatan rakyat
karena negara sudah dalam keadaan kacau.
Ketidakmampuan negara/pemerintahan Orde Baru dalam
mengatasi krisis telah mengkis kepercayaan masyarakat
terhadap negara. Negara dinilai telah gagal dalam mensejahterahkan rakyatnya.
Dan rakyat pun mulai melakukan aksi-aksinya sebagai bentuk kekecewaan mereka
terhadap negara. Kepercayaan rakyat kepada negara pun semakin hari semakin
menipis. Dan negara/pemerintah Orba pun mulai kehilangan legitimasi dari
rakayat Indonesia.
Pergolakan
Melawan Kekuasaan
Krisis legitimasi yang melanda pemerintahan Orba membuat
rakyat Indonesia mulai melakukan pergolakan untuk melawan rezim penguasa. Aksi
masyarakat yang dipelopori oleh mahasiswa mulai terjadi dimana-mana. Aksi
dilakukan untuk menuntut mundur penguasa Orde Baru Soeharto karena dinilai
telah gagal dalam mengatasi masalah krisis ekonomi yang melanda Indonesia.
Namun pergolakan yang dilakukan juga tidak berjalan dengan mulus. Sadar
kekuasaannya mulai di guncang, Soeharto kemudian memerintahkan militer untuk
menghadang aksi demonstrasi yang dilakukan oleh rakyat tersebut. Bahkan militer
tidak segan-segan untuk melakukan tindakan represif yang berujung pada kematian
di kalangan demonstran.
Jatuhnya korban pada pihak demosntran tidak membuat nyali
masyarakat menjadi ciut, tetapi justru melecut semangat para demostran untuk
terus melakukan aksi demi sebuah cita-cita yang mulia yaitu Indonesia baru
tanpa Orba. Pergolakan tidak hanya
dilakaukan oleh kelompok mahasiswa dan rakayat saja, melainkan juga dikalangan
politisi yang berada dalam gerbong oposisi. Kekuatan politik di luar rezim
penguasa seperti kelompok Islam NU(Abdurahman wahid), Muhamadiyah (Amien Rais)
dan Kelompok Nasionalis (megawati) juga ikut melakukan pergolakan menentang
rezim penguasa. Tokoh-tokoh masyarakat juga ikut menyatakan untuk melakukan
pergolakan melawan kekuasaan Orde Baru. Situasi ini membuat rezim Orde Baru
semakin terdesak.
Dukungan masa yang begitu kuat untuk melakukan pergolakan
membuat oknum-oknum yang semulanya berada dilingkaran kekuasaan mulai berbalik
untuk ikut bergabung melengserkan kekuasaan Soeharto. Desakan yang terus
menerus dilakukan masa telah membuat sebagian pendukung Soeharto mulai
meletakan loyalitas mereka selama ini. Hal ini ditandai dengan mengundur
dirikannya sepuluh menteri dalam kabinet pemerintahan pada saat itu. Beberapa
tokoh sentral partai golkar yang selama ini loyal terhadap Soeharto juga sudah
mulai menarik dukungannya. Kali ini tekanan yang didapatkan Soeharto tidak
hanya berasal dari luar, melainkan dari dalam lingkaran kekuasaannya sendiri.
Kondisi ini membuat Soeharto benar-benar tersudut.
Posisi Soeharto pada saat itu sudah sangat terjepit
karena mendapat tekanan baik dari dalam maupun dari luar. Kekuatan militer yang
selama ini digunakan untuk melawan rakyat juga mulai kekurangan kekuatan karena
menghadapi banyaknya jumlah rakyat yang turun dalam aksi demonstrasi.
Pembangkangan juga terjadi di kubu militer dengan mengundurdirikannya Pangksotrad
pada saat itu yaitu Prabowo yang notabene adalah menantu dari Soeharto
itu sendiri. Kondisi ini benar-benar membuat Soeharto mulai kehilangan
kekuasaan karena ditinggalkan oleh orang-orang yang selama ini setia
mendukungnya,
Pergolakan yang dilakukan rakyat akhirnya tidak dapat
terbendung lagi. Mahasiswa berhasil menduduki kantor MPR, dan suara-suara untuk
meminta Soeharto mundur pun mulai lantang terdengar. Karena telah kehilangan
pendukungnya, maka Soeharto pun kemudian menyatakan mengundurkan diri dari
jabatnnya sebagai Presiden Republik Indonesia di hadapan anggota MPR. Mahasiswa
yang berada diluar gedung MPR, yang menyaksikan pembacaan pidato pengunduran
diri tersebut lewat layar televisi menyambut dengan tepuk tangan yang meriah.
Kekuasaan Soeharto sebagai presiden pun berakhir sudah.
Setelah Soeharto mengundurkan diri, maka sesuai dengan
konstitusi pada saat itu posisi Soeharto sebagai Presiden akan digantikan oleh
Habibie yang sebelumnya menjabat sebagai wakil presiden. Keadaan ini membuat
pergolakan massa terus berlanjut. Para demostran menginginkan rezim Orde Baru
benar-benar harus lengser sampai kroni-kroninya. [1][13]Habbie merupakan tangan kanan Soeharto, jadi rakyat
kembali melakukan aksinya untuk melengserkan Habibie dari kursi presiden.
Konsolidasi pun mulai dibangun diantara para demostran, tokoh oposisi dan tokoh
masyarakat. Rakyat kemudian menuntut untuk dilakukan pemilihan umum yang
demokratis untuk selanjutnya memilih anngota DPR dan Presiden serta Wakil
Presiden yang baru.
Memasuki Masa
Transisi
Setelah kekuasan Orde Baru berakhir maka dunia
perpolitikan di Indonesia memasuki babak yang baru. Tidak ada yang bisa
menjamin kelompok mana yang akan menjadi penguasa selanjutnya. Kelompok oposisi
memang menjadi kelompok yang paling berpeluang untuk menjadi penguasa selanjutnya.
Tapi tidak tertutup
kemungkinan
bahwa kelompok pemerintah sebelumnya juga dapat merebut kembali kekuasaannya.
Ini disebabkan karena pada saat seperti ini Indonesia memasuki masa transisi
dimana sebuah Era Politik (Orde Baru) telah berakhir dan Era selanjutnya akan
datang. Namun seperti apa Era
selanjutnya tersebut masih menjadi sebuah misteri. Sesuai apa yang di utarakan
oleh Guillermo O’Donnel dan Philippe C. Schmitter bahwa masa transisi mengara
kepada sebuah ketidakpastian.
Untuk menentukan rezim penguasa pada masa selanjutnya,
maka pada tahun 1999 diselenggarakanlah pemilihan umum. Pemilihan umum kali ini
tidak hanya diikuti oleh tiga kontestan yang menjadi peserta dalam pemilu pada
masa Orba melainkan berkembang menjadi 48 peserta partai politik. Banyaknya
jumlah parpol yang berpartisipasi dalam pemilu juga diakibatkan karena pasca
Orba pemerintah memberi kebebasan kepada masyarakat untuk mendirikan partai
politik sebagai manifestasi dari kebebasan berserikat yang juga dijunjung oleh
paham demokrasi. Pemilu ini kemudian menjadikan Partai Demokrasi Indonesia
Perjuangan (PDIP) sebagai pemenang dalam pemilu tersebut. Sedangkan dalam
pemilihan presiden yang dilakukan anggota DPR/MPR Abdurahman Wahid berhasil
keluar sebagai peraih suara terbanyak disusul oleh Megawati
Soekarno putri. Dengan hasil ini maka Abdurahman Wahid dan Megawati Soekarno
Putri ditetapkan sebagai Presiden dan Wakil Presiden Pasca runtuhnya kekuasaan
Orde Baru.
Ternyata benar apa yang dikatakan oleh Guillermo
O’Donnell dan Philippe Schmitter bahwa masa transisi adalah sebuah rangkaian
kemungkinan dan ketidakpastian. Abdurahman Wahid atau yang akrab di panggil
Gusdur juga harus lengser di tengah-tengah masa jabatannya. Gusdur yang sesuai
dengan konstitusi seharusnya memiliki masa jabatan sebagai presiden selama lima
tahun akhirnya ditengah jalan mendapat tekanan dari parlemen dan diberhentikan
melalui Sidang Istimewa MPR. Pertanggungjawaban Gusdur sebagai Presiden tidak
diterima oleh sebagian besar anggota MPR sehingga Gusdur diberhentikan secara
paksa oleh parlemen.
Sebagai penggantinya Megawati yang semula menjabat
sebagai wakil presiden kemudian diangkat menjadi presiden menggantikan gusdur.
Megawati menggantikan Gusdur untuk melanjutkan masa pemerintahan presiden yang
berasal dari Partai Kebangkitan bangsa tersebut. Masa pemerintahan Gusdur yang
begitu cepat membuktikan bahwa Indonesia pada saat itu masih berada dalam
proses transisi untuk memasuki format politik yang baru.
Mengakhiri
Masa Transisi
Fenomena mutakhir
seputar politik-kebangsaan cukup menggugah perhatian kita untuk melihat kembali
proses transisi demokrasi. Di ranah kekuasaan misalnya, pemerintah gagal
mengonsolidasi diri menjadi kekuatan penggerak sekaligus penopang nilai-nilai
berbangsa dan bernegara. Kegagalan itu, salah satunya, bisa dilihat dari
terjeratnya beberapa elit pemerintah dalam kasus korupsi seperti kasus Century,
Hambalang, impor daging sapi dan semacamnya. Pada sisi lain, di ranah
kebangsaan, gejolak komunalisme dan primordialisme semakin meluas di mana
setiap kelompok lebih mengedepankan kepentingan masing-masing. Organisasi massa
saling mengibarkan bendera, memaksakan kehendak komunal bahkan dengan cara
kekerasan. Sedangkan ruang sosial dipolitisasi sedemikian rupa sehingga masyarakat
tersekat-sekat ke dalam kelompok-kelompok tertentu. Secara sepintas, kondisi
tersebut memberi gambaran tentang bagaimana proses transisi demokrasi yang
sedang kita tempuh. Proses itu menemui hambatan besar di dua ranah sekaligus,
yaitu ranah kekuasaan dan ranah kebangsaan. Ironisnya, hal itu terjadi
berulang-ulang seolah terjebak di lingkaran absurd, tanpa menemukan titik pijak
dan titik puncak. Demokrasi memang berlangsung tetapi prahara dan muaranya
tidak pernah berujung.
Dalam
transisi demokrasi berlaku tesis bahwa suatu negara akan berhasil melewati masa
transisi apabila seluruh elemen bangsa mengonsolidasi diri sesuai
prinsip-prinsip demokrasi. Kasus Amerika Latin, Afrika, Argentina dan
sebagainya sangat lamban bahkan bermasalah dalam proses demokratisasi karena
gagalnya konsolidasi. Karena itu, demokrasi harus dikonsolidasi secara
menyeluruh dengan mengeliminasi semua hal yang menjadi antitesa utamanya.
Krisis Bernegara
Krisis
jiwa bernegara akan mengakibatkan gagalnya konsolidasi demokrasi. Penguasa
sibuk mengamankan kekuasaan, elit politik mengedepankan kepentingan partai,
masyarakat mengalami disorientasi dan menjelma menjadi kelompok massa yang
cenderung anarkis. Selama krisis ini tidak diatasi, maka selama itu pula
seluruh elemen bangsa tidak akan berhasil mengonsolidasikan diri. Jika
demikian, maka era transisi demokrasi sampai kapan pun tidak akan berhasil pula
dilewati.
Langkah
pertama dalam mengatasi masalah
tersebut harus dimulai dari elemen pemerintah sebagai pemangku jabatan lembaga
negara. Pemerintah dan para elit politik
harus mampu berdiri di tengah perbedaan kepentingan serta berkomitmen untuk
memajukan bangsa. Kesamaan platform kebangsaan sangat
dibutuhkan untuk menghancurkan sekat-sekat ideologis atau kepentingan dalam
rangka konsolidasi demokrasi. Setelah itu, upaya meneguhkan jiwa bernegara perlu dilakukan dengan fokus pada dua
hal. Yakni memperkuat negara dan menanamkan nilai-nilai kebangsaan. Upaya
pertama berkaitan dengan upaya negara dalam menjamin kesejahteraan warganya. Di
sini kesejahteraan warga negara berbanding lurus dengan semakin kuatnya suatu
negara. Semakin sejahtera warga negara maka akan semakin kuat suatu negara.
Begitu pula sebaliknya. Negara dengan tingkat kesejahteraan rendah hanya akan
melahirkan tindakan yang menentang keutuhan. Tindakan seperti kriminalitas,
konflik gampang mengemukan sehingga melemahkan negara. Tak ada lagi
pertimbangan rasional untuk menjalin suatu kesatuan dalam bingkai kebangsaan.
Jiwa bernegara tercabik-cabik oleh kemiskinan sehingga penetrasi ideologi yang
bertentangan dengan dasar negara mudah diterima. Upaya kedua bisa dilakukan
dengan memberikan pendidikan kebangsaan yang dimulai sejak dini di
lembaga-lembaga pendidikan. Pada masa orde baru, terdapat penataran Pedoman
Penghayatan dan Pengamalan Pancasila (P4) serta pendidikan moral Pancasila
untuk menanamkan nilai-nilai kebangsaan sesuai ideologi negara. Akan tetapi
pada masa reformasi, karena dinilai indoktrinasi, P4 kemudian dihapuskan dan
pendidikan moral Pancasila diganti dengan pendidikan kewarganegaraan. Celakanya,
perangkat pengganti itu tak begitu memadai untuk menanamkan nilai-nilai
ideologis Pancasila karena tingkat kompetensinya sangat sederhana. Alih-alih
menularkan nilai itu dalam jiwa bangsa, untuk memahami saja kurang memadai.
Maka sangat wajar bila belakangan karakter bangsa untuk hidup toleran, terbuka,
dan satu visi mewujudkan cita-cita kebangsaan mulai pudar. Oleh karena itu,
menjadi kewajiban kita bersama, terutama pemerintah, untuk menjamin
kesejahteraan masyarakat dan menanamkan nilai-nilai kebangsaan. Dua hal
tersebut merupakan syarat utama dalam menempuh haluan sentripetal kebangsaan
kita. Sikap mengedepankan kepentingan diri atau kelompok serta hal-hal yang
menghambat konsolidasi demokrasi harus segera diakhiri. Jika tidak, maka sampai
kapan pun kita tidak akan pernah berhasil keluar dari lingkaran
absurd itu.
·
Orde Lama- Orde Baru (1950 – 1965 )
a.
Orde Lama
1. Demokrasi
Liberal (1950 – 1959)
Dalam proses pengakuan kedaulatan dan pembentukan
kelengkapan negara, ditetapkan pula sistem demokrasi yang dipakai yaitu sistem
demokrasi liberal. Dalam sistem demokrasi ini presiden hanya bertindak sebagai
kepala negara. Presiden hanya berhak mengatur formatur pembentukan kabinet. Oleh
karena itu, tanggung jawab pemerintah ada pada kabinet. Presiden tidak boleh
bertindak sewenang-wenang. Adapun kepala pemerintahan dipegang oleh perdana
menteri. Dalam sistem demokrasi ini, partai-partai besar seperti Masyumi,PNI,dan
PKI mempunyai partisipasi yang besar dalam pemerintahan. Dibentuklah
kabinet-kabinet yang bertanggung jawab kepada parlemen (Dewan Perwakilan Rakyat
) yang merupakan kekuatan-kekuatan partai besar berdasarkan UUDS 1950. Setiap
kabinet yang berkuasa harus mendapat dukungan mayoritas dalam parlemen (DPR
pusat). Bila mayoritas dalam parlemen tidak mendukung kabinet, maka kabinet
harus mengembalikan mandat kepada presiden.
Setelah itu, dibentuklah kabinet baru untuk mengendalikan pemerintahan
selanjutnya. Dengan demikian satu ciri penting dalam penerapan sistem Demokrasi
Liberal di negara kita adalah silih
bergantinya kabinet yang menjalankan pemerintahan. Kabinet yang pertama
kali terbentuk pada tanggal 6 september 1950 adalah kabinet Natsir. Sebagai
formatur ditunjuk Mohammad Natsir sebagai ketua Masyumi yang menjadi partai
politik terbesar saat itu. Program kerja Kabinet Natsir pada masa
pemerintahannya secara garis besar sebagai berikut ;
a. Menyelenggarakan pemilu untuk konstituante dalam waktu
singkat.
b. Memajukan perekonomian, kesehatan dan kecerdasan rakyat.
c. Menyempurnakan organisasi pemerintahan dan militer.
d. Memperjuangkan soal Irian Barat
tahun 1950.
e. Memulihkan keamanan dan ketertiban.
Pada
masa Demokrasi Liberal ini juga berhasil menyelenggarakan pemilu I yang
dilakukan pada 29 september 1955 dengan agenda pemilihan 272 anggota DPR yang
di lantik pada 20 Maret 1956. Pemilu pertama tersebut juga telah berhasil badan
konstituante (sidang pembuat UUD). Selanjutnya badan konstituante memiliki
tugas untuk merumuskan UUD baru. Dalam badan konstituante sendiri, terdiri
berbagai macam partai, dengan dominasi partai-partai besar seperti
NU,PKI,Masyumi dan PNI. Dari nama lembaga tersebut dapatlah diketahui bahwa
lembaga tersebut bertugas untuk menyusun konstitusi. Konstituante melaksanakan
tugasnya ditengah konflik berkepanjangan yang muncul diantara pejabat militer,
pergolakan daerah melawan pusat dan kondisi ekonomi tak menentu.
2. Demokrasi Terpimpin (1959 – 1965)
a. Sistem politik Demokrasi Terpimpin
Kekacauan
terus menerus dalam kesatuan negara Republik Indonesia yang disebabkan oleh
begitu banyaknya pertentangan terjadi dalam sistem kenegaraan ketika
diberlakukannya sistem demokrasi liberal. Pergantian dan berbagai respon dari
daerah dalam kurun waktu tersebut memaksa untuk dilakukannya revisi terhadap
sistem pemerintahan. Ir.Soekarno selaku presiden memperkenalkan konsep
kepemimpinan baru yang dinamakan demokrasi terpimpin. Tonggak
bersejarah di berlakukannya sistem demokrasi terpimpin adalah dikeluarkannya
Dekrit Presiden 5 Juli 1959. Peristiwa tersebut mengubah tatanan kenegaraan
yang telah terbentuk sebelumya. Satu hal pokok yang membedakan antara sistem
Demokrasi Liberal dan Demokrasi Terpimpin adalah kekuasaan Presiden. Dalam
Demokrasi Liberal, parlemen memiliki kewenangan yang terbesar terhadap
pemerintahan dan pengambilan keputusan negara. Sebaliknya, dalam sistem
Demokrasi Terpimpin presiden memiliki kekuasaan hampir seluruh bidang
pemerintahan.
Dengan
diberlakukannya Dekrit Presiden 1959 terjadi pergantian kabinet dari Kabinet
Karya (pimpinan Ir.Djuanda) yang dibubarkan pada 10 juli 1959 dan digantikan
dengan pembentukan Kabinet Kerja yang dipimpin oleh Ir.Soekarno sebagai perdana
menteri dan Ir.Djuanda sebagai menteri pertama. Kabinet ini yang memiliki
program khusus yang berhubungan dengan masalah keamanan,sandang pangan, dan
pembebasan Irian Barat. Pergantian institusi pemerintahan antara lain di MPR
(pembentukan MPRS), pembentukan DPR-GR dan pembentukan DPA.
Perkembangan
dalam sistem pemerintahan selanjutnya adalah penetapan GBHN pertama. Pidato
Presiden pada acara upacara bendera tanggal 17 agustus 1959 berjudul ”Penemuan
Kembali Revolusi Kita” dinamakan Manifestasi Politik Republik
Indonesia(Manipol),yang berintikan USDEK (UUD 1945,Sosialisme Indonesia,
Demokrasi Terpimpin, Kepribadian Indonesia). Institusi negara selanjutnya
adalah mengitegrasikan sejumlah badan eksekutif seperti MPRS, DPRS, DPA,
Depernas, dan Front Nasional dengan tugas sebgai menteri dan ikut serta dalam
sidang-sidang kabinet tertentu yang selanjutnya ikut merumuskan kebijaksanaan
pemerintahan dalam lembaga masing-masing.
Dalam
Demokrasi Terpimpin presiden mendapat dukungan dari tiga kekuatan besar yaitu
Nasionalis, Agama dan Komunis. Ketiganya menjadi kekuatan presiden dalam
mempertahankan kekuasaannya. Kekuasaan mutlak presiden pada masa itu telah
menjadikan jabatan tersebut sebagai pusat legitimasi yang penting bagi lainnya.
Presiden sebagai penentu kebijakan utama terhadap masalah-masalah dalam negeri
maupun luar negeri.
Gerakan
30 September 1965
Salah
satu momen sejarah yang mungkin paling membekas dalam perjalanan sejarah
Indonesia adalah Peristiwa Gerakan 30 September 1965. Peristiwa tersebut sampai
saat ini masih menimbulkan kontrofersi dalam pengungkapan fakta yang
sebenarnya.
Dampak G 30 S dan Proses Peralihan Kekuasaan Politik:
Adapun dampak dari peristiwa G 30 S adalah :
1. Demostrasi menentang PKI
Penyelesaian
aspek politik terhadap para pelaku G 30 S 1965/PKI akan di putuskan dalam
sidang Kabinet Dwikora tanggal 6 Oktober 1965 dan belum terlihat adanyaa
tanda-tanda akan dilaksanakan. Berbagai aksi digelar untuk menuntut pemeritah
agar segera menyelesaikan masalah tersebut dengan seadil-adilnya. Aksi
dipelopori oleh kesatuan aksi pemuda-pemuda dan pelajar-pelajar Indonesia
seperti KAPPI,KAMI dan KAPI. Mucul pula kasi yang dilakukan oleh KABI,KAWI yang
membulatkan tekad dalam Front Pancasila.
2. Mayjen Soeharto menjadi Pangad
Sementara itu untuk mengisi kekosongan pimpinan AD, pada
tanggal 14 oktober 1965 Panglima Kostrad/Pangkopkamtib Mayjen Soeharto diangkat
menjadi Menteri/Panglima AD. Bersamakan itu diadakan tindakan-tindakan
pembersihan terhadap unsur-unsur PKI dan ormasnya.
3. Kedaan ekonomi yang buruk
Sementara itu kedaan ekonomi semakin memburuk. Pada saat itu
politik sebagai panglima, akibatnya masalah lain terabaikan. Akibatnya di
daerah muncul berbagai gejolak sosial yang pada puncaknya menimbulakan
pemberontakan.
4. Tri Tuntutan Rakyat
Pada tanggal 12 januari 1966 berbagai kesatuan aksi yang
tergabung dalam Front Pancasila tersebut berkumpul di halaman gedung DPR-GR
untuk mengajukan Tritura yang isinya :
a. Pembubaran PKI dan ormas-ormasnya.
b. Pembersihan kabinet Dwikora dari unsur-unsur PKI.
c. Penurunan harga barang-barang.
Aksi Tritura berlangsung selama 60
hari sampai dikeluarkannya surat perintah 11 Maret 1966.
5. Kabinet seratus menteri
Pada tanggal 21 februari 1966 presiden Soekarno mengumumkan
perubahan kabinet 59(reshuffle). Kabinet baru ini diberi nama kabinet Dwikora
yang disempurnakan.
Adapun proses peraliahan kekuasaan politik dari orde lama ke
orde baru adalah sebagai berikut ;
·
Tanggal
16 Oktober 1966 Mayjen Soeharto telah dilantik menjadi Menteri Panglima
Angkatan Darat dan dinaikkan pangkatnya menjadi Letnan Jenderal. Pada awalnya
untuk menghormati presiden AD tetap mendukungnya. Namun presiden enggan
mengutuk G 30 S AD mulai mengurangi dukungannya dan lebih muali tertarik
bekerja sam dengan KAMI dan KAPPI.
·
Keberanian
KAMI dan KAPPI terutam karena merasa mendapat perlindungan dari AD. Kesempatan
ini digunakan oleh Mayjen Soeharto uintuk menawarkan jasa baik demi pulihnya
kemacetan roda pemerintahan dapat diakhiri. Untuk itu ia mengutus tiga Jenderal
yaitu M.Yusuf, Amir macmud dan Basuki Rahmat oleh Soeharto untuk menemui
presiden guna menyampaikan tawaran itu pada tanggal 11 Maret 1966. Sebagai
hasilnya lahirlah surat perintah 11 Maret
1966 .
·
Pada
tanggal 7 februari 1967, jenderal Soeharto menerima surat rahasia dari Presiden
melalui perantara Hardi S.H. Pada surat tersebut di lampiri sebuah konsep surat
penugasan mengenai pimpinan pemerintahan sehari-hari kepada pemegang
Supersemar.
·
Pada
8 Februari 1967 oleh Jenderal Soeharto konsep tersebut dibicarakan bersama
empat panglima angkatan bersenjata.
·
Disaat
belum tercapainya kesepakatan antara pemimpin ABRI, masalah pelengkap Nawaksara
dan semakin bertambah gawatnya konflik, pada tanggal 9 Februari
1967 DPR-GR mengajukan resolusi dan memorandum kepada MPRS agar sidang
Istimewa dilaksanakan.
·
Tanggal
10 Februari 1967 Jend. Soeharto menghadap kepad presiden Soekarno untuk
membicarakan masalah negara.
·
Pada
tanggal 11 Februari 1967 Jend.Soharto mengajukan konsep yang bisa digunakan
untuk mempermudah penyelesaian konflik. Konsep ini berisi tentang pernyataan
presiden berhalangan atau presiden menyerahkan kekuasaan pemerintah kepada
pemegang Supersemar sesuai dengan ketetapan MPRS No.XV/MPRS/1966, presiden
kemudian meminta waktu untuk mempelajarinya.
·
Pada
tanggal 12 Februari 1967, Jend.Soeharto kemudian bertemu kembali dengan
presiden, presiden tidak dapat menerima konsep tersebut karena
tidak menyetujui pernyataan yang isinya berhalangan.
·
Pada
tanggal 13 Februari 1967, para panglima berkummpul kembali untuk membicarakan
konsep yang telah telah disusun sebelum diajukan kepada presiden
·
Pada
tanggal 20 Februari 1967 ditandatangani konsep ini oleh presiden setelah
diadakan sedikit perubahan yakni pada pasal 3 di tambah dengan kata-kata
menjaga dan menegakkan revolusi.
·
Pada
tanggal 23 Februari 1967, pukul 19.30 bertempat di Istana Negara presiden
/Mendataris MPRS/ Panglima tertinggi ABRI dengan resmi telah menyerahkan
kekuasaan pemerintah kepada pengemban Supersemar yaitu Jend.Soeharto.
·
Pada
bulan Maret 1967, MPRS mengadakan sidang istimewa dalam rangka mengukuhkan
pengunduran diri Presiden Soekarno sekaligus mengangkat Jenderal Soeharto
sebagai pejabat presiden RI.
b.Orde
Baru
Akibat
adanya pemberontakan Gerakan 30 September timbulah reaksi dari
berbagai Parpol,Ormas,Mahasiswa dan kalangan pelajar. Pada tanggal 8 Oktober
1965 partai politik seperti IPTKI, NU, Partai Kristen Indonesia, dan organisasi
massa lainnya melakukan apel kebulatan tekad untuk mengamankan Pancasila dan menuntut
pembubaran PKI serta ormas-ormasnya. Pada tanggal 23 Oktober 1965 parpol yang
anti komunis membentuk Front Pancasila dan di ikuti oleh pembentukan KAMI (
Kesatuan Aksi Mahasiswa Indonesia ), KAPI ( Kesatuan Aksi Pelajar Indonesia ),
dan lain-lain. Pada tanggal 10 Januari 1966 KAMI mencetuskan TRITURA ( Tiga
Tuntutan Rakyat ) “Bubarkan PKI dan ormas-ormasnya,Bersihkan kabinet dari
unsur PKI,dan turunkan harga-harga”
Jatuhnya Pemerintahan Orde Baru.
Pemerintah Orde Baru selama 32
tahun, ternyata tidak konsisten dan konsekuen terhadap tekad awalnya muncul
Orde Baru. Pada awalnya Orde Baru bertekad melaksanakan Pancasila dan UUD 1945
secara murni dan konsekuen dalam tatanan bermasyarakat, berbangsa, dan bertanah
air.
Latar belakang munculnya tuntutan
Soeharto agar mundur dari jabatannya atau yang menjadi titik awal berakhirnya
Orde Baru.
·
Adanya
krisis politik di mana setahun sebelum pemilu 1997, kehidupan politik Indonesia
mulai memanas. Pemerintah yang didukung Golkar berusaha memepertahankan
kemenangan mutlak yang telah dicapai dalam lima pemilu sebelumnya. PPP
begitupun PDI ataupun Golkar dianggapa tidak mampu lagi memenuhi aspirasi
politik masyarakat.
·
Adanya
krisis ekonomi yang melanda Indonesia pada pertengahan Juli 1997. Sebenarnya
krisis ini juga terjadi dibeberapa negara di Asia namun Indonesialah yang
merasakan dampak yang paling buruk. Hal ini disebabkan karena pondasi
perekonomian Indonesia rapuh, praktik KKN, dan monopoli ekonomi mewarnai
pembangunan ekonomi Indonesia.
·
Adanya
krisis Sosial, bersamaan dengan krisis ekonomi kekerasan di masyarakat semakin
meningkat. Melonjaknya angka pengangguran. Kesenjangan ekonomi menyebabkan
kecemburuan sosial di tengah masyarakat. Gerakan moral dalam aksi damai
menuntut reformasi mulai ditunggangi berbagai kepentingan individu dan
kelompok.
·
Pelaksanaan
hukum di masa Orde Baru terdapat banyak ketidakadilan. Misalnya kekuasaan
kehakiman yang dinyatakan dalam pasal 24 UUD 1945 bahwa kehakiman memilik
kekuasaan yang merdeka dan terlepas dari kekuasaan pemerintahan. Namun pada
kenyataannya kekuasaan kehakiman berada di bawah kekuasaan eksekutif.
Kronologi
jatuhnya pemerintahan Orde Baru berawal dari terpilihnya kembali Soeharto
sebagai presiden melalui sidang umum MPR yang berlangsung tanggal 1 – 11
Maret 1998, ternyata tidak menimbulkan dampak positif yang berarti bagi upaya
pemulihan kondisi ekonomi bangsa justeru memperparah gejolak krisis. Dan
gelombang aksi mahasiswa silih berganti menyuarakan beberapa agenda reformasi. Keberhasilan
Pemerintahan Orde Baru dalam melaksanakan pembangunan ekonomi, harus diakui
sebagai suatu prestasi besar bagi bangsa Indonesia. Di tambah dengan
meningkatnya sarana dan prasarana fisik infrastruktur yang dapat dinikmati oleh
sebagian besar masyarakat Indonesia. Namun, keberhasilan ekonomi maupun
infrastruktur Orde Baru kurang diimbangi dengan pembangunan mental ( character
building ) para pelaksana pemerintahan (birokrat), aparat keamanan maupun
pelaku ekonomi (pengusaha / konglomerat). Kalimaksnya, pada pertengahan tahun
1997, korupsi, kolusi dan nepotisme (KKN) yang sudah menjadi budaya (bagi
penguasa, aparat dan penguasa).
·
Faktor Penyebab Munculnya
Reformasi
Banyak hal yang mendorong timbulnya
reformasi pada masa pemerintahan Orde Baru, terutama terletak pada
ketidakadilan di bidang politik, ekonomi dan hukum. Tekad Orde Baru pada awal
kemunculannya pada tahun 1966 adalah akan melaksanakan Pancasila dan UUD 1945
secara murni dan konsekuen dalam tatanan kehidupan bermasyarakat, berbangsa dan
bernegara.
1. Krisis Politik
Demokrasi yang tidak dilaksanakan
dengan semestinya akan menimbulkan permasalahan politik. Ada kesan kedaulatan
rakyat berada di tangan sekelompok tertentu, bahkan lebih banyak di pegang oleh
para penguasa. Dalam UUD 1945 Pasal 2 telah disebutkan bahwa “Kedaulatan adalah
ditangan rakyat dan dilaksanakan sepenuhnya oleh MPR”. Pada dasarnya secara de
jure (secara hukum) kedaulatan rakyat tersebut dilakukan oleh MPR sebagai
wakil-wakil dari rakyat, tetapi secara de facto (dalam kenyataannya) anggota
MPR sudah diatur dan direkayasa, sehingga sebagian besar anggota MPR itu
diangkat berdasarkan ikatan kekeluargaan (nepotisme). Keadaan seperti ini
mengakibatkan munculnya rasa tidak percaya kepada institusi pemerintah, DPR,
dan MPR. Ketidak percayaan itulah yang menimbulkan munculnya gerakan reformasi.
Gerakan reformasi menuntut untuk dilakukan reformasi total di segala bidang,
termasuk keanggotaan DPR dan MPR yang dipandang sarat dengan nuansa KKN. Gerakan
reformasi juga menuntut agar dilakukan pembaharuan terhadap lima paket
undang-undang politik yang dianggap menjadi sumber ketidakadilan, di antaranya
:
- UU No. 1 Tahun 1985 tentang Pemilihan Umum
- UU No. 2 Tahun 1985 tentang Susunan, Kedudukan, Tugas dan Wewenang DPR / MPR
- UU No. 3 Tahun 1985 tentang Partai Politik dan Golongan Karya.
- UU No. 5 Tahun 1985 tentang Referendum
- UU No. 8 Tahun 1985 tentang Organisasi Massa.
2. Krisis Hukum
Pelaksanaan
hukum pada masa pemerintahan Orde Baru terdapat banyak ketidakadilan. Sejak
munculnya gerakan reformasi yang dimotori oleh kalangan mahasiswa, masalah
hukum juga menjadi salah satu tuntutannya. Masyarakat menghendaki adanya
reformasi di bidang hukum agar dapat mendudukkan masalah-masalah hukum pada
kedudukan atau posisi yang sebenarnya.
3.
Krisis Ekonomi
Krisis moneter yang melanda
Negara-negara di Asia Tenggara sejak bulan Juli 1996, juga mempengaruhi
perkembangan perekonomian Indonesia. Ekonomi Indonesia ternyata belum mampu
untuk menghadapi krisis global tersebut. Krisis ekonomi Indonesia berawal dari
melemahnya nilai tukar rupiah terhadap dollar Amerika Serikat. Ketika nilai
tukar rupiah semakin melemah, maka pertumbuhan ekonomi Indonesia menjadi 0% dan
berakibat pada iklim bisnis yang semakin bertambah lesu. Kondisi moneter
Indonesia mengalami keterpurukan yaitu dengan dilikuidasainya sejumlah bank
pada akhir tahun 1997.
Sementara itu untuk membantu
bank-bank yang bermasalah, pemerintah membentuk Badan Penyehatan Perbankan
Nasional (KLBI). Ternyata udaha yang dilakukan pemerintah ini tidak dapat
memberikan hasil, karena pinjaman bank-bank bermasalah tersebut semakin
bertambah besar dan tidak dapat di kembalikan begitu saja. Krisis moneter tidak
hanya menimbulkan kesulitan keuangan
Negara, tetapi juga telah menghancurkan keuangan nasional. Faktor lain yang
menyebabkan krisis ekonomi yang melanda Indonesia tidak terlepas dari masalah utang luar negeri. Utang Luar Negeri
Indonesia Utang luar negeri Indonesia menjadi salah satu faktor penyebab
munculnya krisis ekonomi. Namun, utang luar negeri Indonesia tidak sepenuhnya
merupakan utang Negara, tetapi sebagian lagi merupakan utang swasta. Utang yang
menjadi tanggungan Negara hingga 6 februari 1998 mencapai 63,462 miliar dollar
Amerika Serikat, utang pihak swasta mencapai 73,962 miliar dollar Amerika
Serikat. Akibat dari utang-utang tersebut maka kepercayaan luar negeri terhadap
Indonesia semakin menipis. Keadaan seperti ini juga dipengaruhi oleh keadaan
perbankan di Indonesia yang di anggap tidak sehat karena adanya kolusi dan
korupsi serta tingginya kredit macet.
4. Krisis Kepercayaan
Demontrasi di lakukan oleh para
mahasiswa bertambah gencar setelah pemerintah mengumumkan kenaikan harga BBM
dan ongkos Elang Mulia Lesmana, Heri Hartanto, Hendriawan Lesmana, dan Hafidhin
Royan. Tragedi Trisakti itu telah mendorong munculnya solidaritas dari kalangan
kampus dan masyarakat yang menantang kebijakan pemerintahan yang dipandang
tidak demokratis dan tidak merakyat. Soeharto kembali ke Indonesia, namun
tuntutan dari masyarakat agar Presiden Soeharto mengundurkan diri semakin
banyak disampaikan. Rencana kunjungan mahasiswa ke Gedung 12 DPR / MPR untuk
melakukan dialog dengan para pimpinan DPR / MPR akhirnya berubah menjadi mimbar
bebas dan mereka memilih untuk tetap tinggal di gedung wakil rakyat tersebut
sebelum tuntutan reformasi total di penuhinya. Tekanan-tekanan para mahasiswa
lewat demontrasinya agar Presiden Soeharto mengundurkan diri akhirnya mendapat
tanggapan dari Harmoko sebagai pimpinan DPR / MPR. Maka pada tanggal 18 Mei
1998 pimpinan DPR/MPR mengeluarkan pernyataan agar Presiden Soeharto
mengundurkan diri. Presiden Soeharto mengadakan pertemuan dengan tokoh-tokoh
agama, tokoh-tokoh masyarakat di Jakarta. Kemudian Presiden mengumumkan tentang
pembentukan Dewan Reformasi, melakukan perubahan kabinet, segera melakukan
Pemilihan Umum dan tidak bersedia dicalonkan kembali sebagai Presiden.Dalam
perkembangannya, upaya pembentukan Dewan Reformasi dan perubahan kabinet tidak
dapat dilakukan. Akhirnya pada tanggal 21 Mei 1998 Presiden Soeharto menyatakan
mengundurkan diri/berhenti sebagai Presiden Republik Indonesia dan menyerahkan
Jabatan Presiden kepada Wakil Presiden Republik Indonesia, B.J. Habibie dan
langsung diambil sumpahnya oleh Mahkamah Agung sebagai Presiden Republik
Indonesia yang baru di Istana.
III.
PENUTUP
1. KESIMPULAN
Transisi
menuju demokrasi adalah masa peralihan menuju masyarakat yang demokrasi. dalam
transisi menuju demokrasi ada beberapa proses yang harus dilalui proses pertama adalah transformasi ini terjadi ketika elit yang berkuasa mempelopori
proses perwujudan demokrasi. yang kedua
replacement terjadi ketika kelompok Oposisi mempelopori proses perwujudan
demokrasi di mana kemudian Rezim Otoriter tumbang atau digulingkan, yang ketiga adalah transplacement terjadi
jika demokratisasi merupakan hasil dari tindakan yang dilakukan secara
bersama-sama oleh kelompok pemerintah dan kelompok oposisi. Dalam masa transisi
menuju demokrasi ada beberapa kendala yang akhirnya menimbulkan suatu
permasalahan dalam suatu Negara, mulai dari masalah ekonomi,politik,budaya,dan
lain sebagainya.
2. DAFTAR PUSTAKA
pptpkn.com
suaramerdeka.com
0 komentar:
Posting Komentar