Jumat, 09 Mei 2014

MAKALAH TRANSISI MENUJU DEMOKRASI


KATA PENGANTAR

Puj isyukur kehadirat Allah SWT yang telah melimpahkan rahmatnya sehingga kita dapat menyelesaikan tugas makalah yang berjudul ”Transisi Menuju Demokrasi” sesuai waktu yang sudah di tentukan. Semoga dengan tugas makalah ini kita dapat menambah wawasan tentang kewarganegaraan khususnya “Transisi Menuju Demokrasi”,dimana kita bias lebih mengenal perkembangan demokrasi di Indonesia dari sebelum merdeka sampai sesudah merdeka.
Kami menyadari bahwa masih banyak kekurangan yang mendasar pada makalah yang kami buat.Oleh karena itu kami meminta kritik dan saran pembaca, untuk menyempurnakan makalah yang kami buat.
Akhir kata semoga makalah ini dapat memberikan manfaat bagi kita semua.




I.                   PENDAHULUAN
1.      LATAR BELAKANG
Masalah yang kami bahasa adalah Transisi Menuju Demokrasi yang menjelaskan Proses Politik yang melibatkan berbagai kelompok yang berrjuang untuk memperoleh kekuasaan untuk mendukung atau menentang demokrasi serta tujuan-tujuan lainnya.

2.      TUJUAN
1.      Untuk menambah wawasan kita tentang perkembangan demokrasi.
2.      Untuk menyadarkan kita arti pentingnya perkembangan demokrasi.
3.      Untuk memenuhi tugas kelompok kewarganegaraan.
4.      Untuk meningkatkan Nasionalisme dalam diri kita.

3.      RUMUSAN MASALAH
1.      Pengetian Transisi Menuju Demokrasi.
2.      Gelombang transisi menuju demokrasi
3.      Tipe atau proses Transisi Menuju Demokrasi.
4.      Faktor dan kendala  transisi menuju demokrasi
5.      Pemimpin di masa transisi
6.      Masa Transisi Otoriter-Demokrasi
7.      Pergolakan Politik 1998 Sebagai Masa Transisi
8.      Orde lama – orde baru, reformasi
9.      Faktor Penyebab Munculnya Reformasi
 

II.                PEMBAHASAN

·         Pengertian transisi menuju demokrasi
Dalam Kamus bahasa Latin, “Transisi” berasal dari kata “trans”dan “cendo”. Trans sendiri berarti di seberang, di sebelah sana, dibalik, menyebrangi, sedangkan cendo berarti melangkah ke sesuatu yang lain, berpindah. Jadi transisi berarti melangkah ke seberang, berpindah ke sebelah sana. Pengertian “Transisi” dalam kamus umum Bahasa Inggris karangan John Nt. Echols dan Hasan Shadily adalah peralihan, dari kata “transition” yang juga bisa diartikan dengan masa peralihan atau pancaroba. Apabila terminology “transition” ini digabungkan, dengan istilah “power”; maka padanan kata itu akan menjadi “power transition” yang berarti “peralihan kekuasaan”. Sedangkan jika dipadukan dengan kata demokrasi menjadi “transition to democratic” yang berarti perubahan ke demokrasi atau peralihan ke demokrasi. apabila kata “transition” itu dipadukan dengan kata “democraticy” akan menjadi “transition to democracy ” yang berarti perubahan ke demokrasi atau peralihan ke demokrasi. Yang berubah dan beralih di sini adalah suatu masa atau periode sebelum terjadinya transisi. Periode itu adalah periode sebelum beralih ke demokrasi. Nama dari periode itu adalah periode nondemokrasi, entah itu periode kekuasaan monarki absolut, kekaiseran sulstanistik, patrimonial, kediktatoran pribadi, kediktatoran militer, kediktatoran partai atau model-model lain dari rezim otoritarian. Jadi jelas bahwa defenisi transisi di sini adalah suatu masa peralihan kekuasaan dari kekuasaan otoriter ke kekuasaan demokratik atau dari sistem otoriter ke sistem demokratik..

Atau menurut kami transisi menuju demokrasi, yang pertama dari kata transisi   adalah masa  peralihan dari keadaan (tempat, tindakan, dsb) pada yang lain: masa -- , masa peralihan; masa pancaroba: pada masa -- pada umumnya keadaan belum stabil. Demokrasi adalah bentuk pemerintahan di mana hak-hak untuk membuat keputusan-keputusan politik digunakan secara langsung oleh setiap warga negara yang diaktualisasikan melalui prosedur Pemerintahan mayoritas, yang biasa dikenal dengan sebutan Demokrasi langsung. Jadi transisi menuju demokrasi adalah suatu keadaan yang ada dalam suatu Negara yang belum dibentuk  pemerintahannya atau suatu keadaan yang ada dalam suatu Negara sebelum demokrasi.

Demokrasi menurut beberapa ahli :
Menurut Samuel Huntington (1991:44), demokratisasi pada tingkatan yang sederhana mencakup (1) sebuah rezim otoriter, (2) dibangunnya sebuah rezim demokrasi, (3) konsolidasi. Jika mengikuti Robert A. Dahl (1991:54), demokratisasi berarti Proses perubahan rezim otoritarian (hegemoni atau pemimpin tertutup )yang tidak memberi kesempatan pada partisipasi dan liberalisasi menuju poliarki yang memberi derajat kesempatan partisipasi dan liberasasi yang lebih tinggi. Transisi demokrasi pada suatu negara menurut Lipset (1963). Terjadi apabila terjadi pertumbuhan ekonomi dan pertambahan masyarakat terdidik.  la beralasan, dengan masyarakat yang telah sejahtera secara ekonomi dan semakin tingginya tingkatan semakin terbuka mekanisme pengambilan keputusan untuk urusan-urusan publik, dan semakin terbukanya  kesempatan untuk ikut berpartisipasi dalam menentukan keputusan yang penting, yang menyangkut kepentingan publik. Argumen yang sama tetapi dengan perspektif dan metode yang berbeda juga diungkapkan oleh Moore (1996) Kalau Lipset lebih bertumpu pada paradigma modernisasi, yang menyetujui lahirnya masyarakat kapitalis, sedangkan Moore, lebih bertumpu pada perubahan cara produksi feodolis ke cara produksi kapitalis. Sedangkan menurut O’Donnell, Schmitte”, dan Whitehead (kelompok sarjana-sarjana kiri) yang memfokuskan studi di Amerika Latin, beranggapan bahwa pembangunan di negara-negara terbelakang dengan kapitalisme barat mensyaratkan adanya stabilitas politik dengan menekan partisipasi massa dalam politik untuk mengamankan pembangunan ekonomi dan modal kapitalis mancanegara. Agen yang paling memungkinkan untuk menciptakan stabilitas politik ini adalah negara. di bawah komando militer. Oleh karena itu demokrasi, di mana peran negara menjadi begitu sentral, sementara massa disingkirkan dari proses menurut O’Donnell pembangunan di negara-negara terbelakang bukannya mendorong politik. O’Donnell menyebut fenomena ini sebagai Bureaucratic autliontarianism. Kritik terhadap Bureaucratic authoritarinnism telah banyak dilakukan, termasuk oleh R. William Liddle dan Saiful Mujani (2000:56), thesis O’Donnell ini dibangun atas dasar pilihan atas kasus (case selection) secara selektif sehingga biasa. O’Donnell tidak menghiraukan pembangunan ekonomi di negara-negara “si Timu.- seperti Jepang, Korea Selatan, Taiwan, dan Hongkong pada tahun 80-an. Mereka melakukan demokratisasi di negaranya dengan bertumpu pada ekonomi pasar termasuk di Asia Tenggara negera-negara Bekas Uni Soviet, dan Eropa Timur. Menurut Liddle dan Mujani setelah O’Donnel mengetahui bahwa argumen Bureaucratic autlioritarianism tidak realistik, penghujung tahun 80-an beralih ke pendakatan elite untuk menjelaskan variasi muncul dan stabilnya demokrasi. Mereka berkesimpulan bahwa, munculnya rezim demokasi adalah suatu “kebetulan” sejarah yang tidak bisa dijelaskan. Elit dinilai penting dalarn proses transisi ke rezim demokrasi tetapi kapan elit menjadi pro demokrasi dan kapan tidak, menurutnya tidak bisa dijelaskan. Konsep ini juga telah dikritik oleh Prezeworski dan Lunongi, yang datang juga dari lingkaran Kiri. Elit melakukan pro demokrasi karena mereka menggunakan rational choice theory (teori pilihan rasional) (Almond , 1990:117). Menurut pendekatan ini elit ini, diasumsikan bahwa transisi jadi rezim nondemokrasi ke rezim demokrasi sebagian besar ditentukan oleh inisiatif, kompromi, dan kalkulasi rasional elit politik. Pilihan atas demokrasi dipandang memungkinkan elit mencapai tujuan politiknya. Motif dan kalkulasi elit seperti ini tentu saja akan ditemukan dikalangan elit politik pada umumnya.
Secara urut demokratisasi mencakup beberapa proses atau tahapan yang saling berkaitan, yaitu: liberalisasi, transisi, instalasi dan konsolidasi.
Liberalisasi adalah proses mengefektifkan hak-hak politik yang melindungi individu dan kelompok sosial dari tindakan sewenang-wenang atau tidak sah yang dilakukan oleh negara atau pihak ketiga (O’Donnell & Philippe Schimitter, 1986). Pada tahap ini biasanya ditandai kekuasaan untuk membuka peluang terjadinya kompetisi politik, dilepaskannya tahanan politik, dan diberikannya ruang kebebasan pers.
Ada dua catatan yang bisa diajukan terhadap O’Donnell khususnya pada proses sebelum memasuki tahap transisi. Dia tidak melakukan elaborasi yang menyeluruh mengenai tahap decomposing politics sebelum tahap liberalisasi.
transisi, yaitu titik awal atau interval (selang waktu) antara rezim otoritarian dengan rezim demokrasi. Transisi diawali dengan keruntuhan rezim otoriter lama yang kemudian diikuti dengan pengesahan lembaga politik peraturan politik baru di bawah payung demokrasi. Pada tahap ini ditandai dengan adanya pemilu. Dalam konteks Indonesia tidak partai perubahan format politik baru yang secara diametral berubah dari format masa sebelumnya.
Konsolidasi tahap ini setelah transisi, Proses konsolidasi jauh lebih komplek dan panjang dibandingkan transisi. la merupakan proses yang mengurangi kemungkinan pembalikan demokrasi. Didalamnya diwarnai proses negosiasi. Pada fase ini partai politik perlu melakukan pelatihan terhadap kader-kadernya media massa, asosiasi-asosiasi perdagangan, lembaga-lembaga swadaya masyarakat perlu mengembangkan kapasitasnya untuk bertindak secara mandiri terlepas pada pengaruh negara dan ‘payung’ negara. Pada tahap ini sering juga disebut sebagai tahap kampanye yang digerakkan pada dua front sekaligus. Di satu pihak adalah perjuangan melawan kekuatan-kekuatan anti-demokratis yang mungkin tidak pernah mau mengalah. Di pihak lain adalah perjuangan menampung unsur-unsur yang bersifat memecah belah dari siste  politik itu sendiri, misalnya persaingan memperebutkan jabatan di pemerintahan dan godaan untuk memperlakukan politik sebagai sebuah pertandingan di mana para pemenanglah yang menguasai semua hadiah.
Minimal ada empat komponen atau pilar utama dari demokrasi yang sedang berjalan, yaitu :
a.       pemilihan umum yang bebas dan adil.
b.      pemerintahan yang bertanggung jawab.
c.       hak-hak politis dan sipil , dan
d.      suatu masyarakat yang demokratis atau masyarakat Madani.
Jika transisi hanya menghasilkan otoritarian baru, maka Konsolidasi yang terjadi adalah pemantapan rezim otoriter baru. sebaliknya, jika yang dihasilkan transisi adalah instalati demokrasi maka rezim demokrasi yang baru itu akan dikonsolidasi. Proses konsolidasi jauh lebih komplek dan panjang dibandingkan transisi. la merupakan proses yang mengurangi kemungkinan pembalikan demokrasi. Di dalamnya diwarnai proses negosiasi. Transisi hendak mempromosikan sistem baru ketimbang merusak sistem lama. Transisi adalah tahapan awal terpenting yang sangat menentukan dalam proses demokrasi. Sebagian besar kajian para ilmuwan difokuskan pada transisi menuju demokrasi itu. Dalam transisi pasti terjadi liberalisasi yang mungkin akan diakhiri dengan instalasi demokrasi.
·         Gelombang transisi menuju demokrasi
Gelombang demokratisasi menghantam dunia Arab–Timur Tengah baru pada 2011 kemarin, sedangkan Indonesia menjelang penutupan dekade 1990-an. Transisi  dan gelombang demokrasi ini, agak terlambat, karena Eropa Selatan (Spanyol dan Portugal), Amerika Latin (Bolivia, Chilie, Argen­tina, Brazil, Mexico, dll) dan negara-negara Asia (Philipina, Ko­rea Selatan, Taiwan) sudah mengalami demokratisasi 1970-an dan 1980-an.
Kajian teoritis-konseptual tentang demokrasi mula bergaung ketika terjadi transisi ke demokrasi yang mulai marak pasca perang dunia kedua, ketika banyak rezim otoritarian tumbang dari kursi kekuasaannya. Banyak ahli (expert) dan ilmuwan politik beralih perhatian yang semula bersifat eropasentris dan amerikasentris membuka mata terhadap perkembangan di Eropa Selatan, kemudian ke Amerika Latin dan Asia.
Perhatian dipusatkan pada bagaimana suatu rezirn otoritarian yang tampak tangguh dan otonom roboh dalam sekejab mata. Ilmuwan Politik yang banyak mengkaji tentang transisi ke demokrasi di antaranya adalah Robert Harvey (Portugal : Birth of Democracy), Guillermo O’Donnell dan Philippe Cschmitter (Transition from Authoritarian Rule; Tentative Conclusions About Uncertain Democracies) dan Huntington. Dalam “The Third Wave“, Huntington banyak mengulas tentang transisi ke demokrasi dari rezim-rezim otoritarian.
·         Tipe  atau proses Transisi Demokrasi
Tiga (3) jenis proses demokratisasi Dunia Ketiga sebagaimana dikemukakan oleh Samuel Huntington, yaitu:
1.      Transformasi, terjadi ketika elit yang berkuasa mempelopori proses perwujudan      demokrasi. Dalam transformasi, pihak-pihak yang berkuasa dalam rezim otoriter mensponsori perubahan dan memainkan peran yang menentukan dalam mengakhiri rezim itu dan mengubahnya menjadi sebuah sistem yang demokratis.
Ciri-ciri proses Transformasi:
a.       Penguasa dalam rezim otoriter mempelopori dan memainkan peran yang menentukan dalam mengakhiri rezim tersebut sehingga mengubahnya menjadi suatu sistem yang demokratis.
b.      Para pemimpin rezim otoriter memiliki kekuatan untuk menggerakkan demokratisasi di negaranya jika mereka memang ingin melakukannya.
c.       Dengan demikian, transformasi mensyaratkan suatu pemerintahan yang lebih kuat daripada pihak oposisi.
d.      Transformasi terjadi dalam rezim militer yang telah mapan di mana pemerintah mengendalikan alat-alat pemaksa.
e.       Para pemimpin otoriter yang kehilangan kekuasaannya dalam proses transformasi ini biasanya akan meninggalkan dunia politik dan kembali dengan tenang ke barak atau ke kehidupan pribadi mereka secara terhormat.
Oleh karena itu, transformasi dalam proses demokratisasi yang dilakukan oleh kelompok pembaharu demokratis dalam tubuh pemerintahan otoriter dapat dilakukan melalui beberapa cara, antara lain:
a.       Mengamankan basis politik dengan menempatkan segera pendukung-pendukung demokratisasi pada posisi kunci kekuasaan dalam pemerintahan, partai politik, dan militer.
b.      Mempertahankan legitimasi dengan mengadakan perubahan pada prosedur-prosedur yang telah mantap dari rezim non-demokratis serta berupaya meyakinkan kelompok-kelompok konservatif.
c.       Mengurangi ketergantungan pada kelompok-kelompok di dalam pemerintahan yang menentang perubahan.
d.      Di sisi lain, harus memperluas basis pemilih serta pendukung yang mencakup kelompok-kelompok oposisi pendukung demokrasi..
e.       Tetap memegang kendali dan mengendalikan proses demokratisasi. Artinya, memimpin proses demokratisasi hanya ketika berada dalam posisi yang kuat.
f.       Berupaya mempertahankan proses demokratisasi yang sedang berlangsung.
g.      Memberi dorongan bagi perkembangan suatu partai oposisi moderat yang bertanggung jawab, di mana partai oposisi tersebut akan diterima oleh kelompok-kelompok utama dalam masyarakat serta pihak militer sebagai suatu pemerintahan alternatif yang dinilai “tidak berbahaya” bagi mereka.
h.      Menciptakan kesadaran bahwa demokratisasi merupakan proses yang tidak bisa dihindari sehingga proses tersebut dapat diterima masyarakat sebagai perubahan yang memang secara wajar harus terjadi meskipun ada pula sebagian orang yang tidak menghendaki proses demokrasi tersebut.

2.      Replacement (pergantian), terjadi ketika kelompok Oposisi mempelopori proses perwujudan demokrasi di mana kemudian Rezim Otoriter tumbang atau digulingkan. Replacement merupakan sebuah transisi yang matang dan lemah, proses ini sangat tergantung dengan kontinuitas perjuangan dari mereka yang memiliki komitmen yang kuat dengan pembangunan demokrasi. Dan dalam kasus Indonesia dan juga sepertinya Mesir replacement ini menampakkan wajah yang tidak sempurna. Namun jika Indonesia dan Mesir memiliki cukup banyak tersedia kelompok sosial yang konsen dengan demokrasi, maka replacement ini akan menjadi matang. Namun apabila kelompok sosial itu sedikit maka berpeluang besar bahwa Transisi Demokrasi ini berbalik arah menjadi Otoritarianisme Baru.
Ciri-ciri proses Penggantian (Replacement):
a.       Proses replacement sangat berbeda dengan proses transformasi.
b.      Replacement umumnya terjadi dalam transisi pada sistem diktator perorangan.
c.       Replacement jarang terjadi dalam transisi pada sistem satu partai dan dalam transisi pada rezim militer.
d.      Kedudukan kelompok pembaharu yang mendukung demokratisasi masih lemah atau bahkan kelompok tersebut tidak ada dalam rezim otoriter ini.
e.       Mahasiswa memang merupakan kelompok oposisi yang bersifat universal. Mereka menentang rezim apapun yang ada dalam masyarakatnya. Namun, mahasiswa tidak dapat menumbangkan rezim tanpa adanya dukungan dari pihak lain.
f.       Unsur-unsur yang mendominasi pemerintahan adalah kelompok konservatif yang gigih menentang perubahan rezim otoriter. Dominasi kelompok konservatif inilah yang menyebabkan timbulnya replacement.
g.      Akibatnya, demokratisasi baru bisa terwujud jika kelompok oposisi makin kuat dan pemerintah makin lemah sehingga rezim otoriter tersebut akan jatuh dengan sendirinya atau karena digulingkan.
h.      Kelompok yang dulunya merupakan kelompok oposisi kini berkuasa.
i.        Pemimpin-pemimpin otoriter yang kehilangan kekuasaannya dalam proses replacement ini mengalami nasib yang menyedihkan, yaitu diasingkan ke negara lain atau dihukum.
j.        Berbeda dengan transformasi. Dalam replacement, tidak ada penekanan pada kesinambungan prosedur dan legitimasi ke masa lalu. Lembaga, prosedur, gagasan, dan orang-orang yang terkait dengan rezim terdahulu dianggap telah tercemar sehingga menekankan pemutusan hubungannya dengan “masa lalu”.
k.      Pengganti penguasa otoriter mendasari pemerintahannya pada “legitimasi ke masa depan” serta mengurangi keterlibatannya atau memutuskan sama sekali hubungannya dengan rezim terdahulu.
l.        Jika timbul konflik di antara kelompok-kelompok dalam pemerintahan yang baru mengenai bentuk rezim yang harus dilembagakan, biasanya konflik tersebut sering memasuki suatu fase yang baru.
Replacement dalam proses demokratisasi yang dilakukan untuk menggulingkan rezim pemerintahan otoriter oleh kelompok moderat demokratis di pihak oposisi dapat dilakukan melalui beberapa cara, antara lain:
a.       Memusatkan perhatian pada sah atau tidaknya kekuasaan rezim otoriter yang dinilai meragukan sebagai titik utama kelemahan rezim otoriter tersebut.
b.      Menyerang rezim otoriter dengan berbagai isu umum yang menimbulkan keprihatinan banyak orang seperti; korupsi, kolusi, nepotisme, serta “menggoyang” tindakan pemerintah yang cenderung bertindak represif dengan melakukan tindak kekerasan dalam membungkam masyarakat.
c.       Mempengaruhi para jenderal agar setidaknya pihak militer tidak bersedia membela rezim otoriter yang sedang berkuasa jika terjadi penggulingan kekuasaan. Bahkan, jika mungkin membujuk pihak militer agar mau mendukung atau bergabung dalam upaya menggulingkan rezim otoriter yang berkuasa.
d.      Mempraktikkan dan menganjurkan aksi kudeta tanpa kekerasan sehingga mudah memperoleh dukungan dari angkatan bersenjata.
e.       Merebut setiap peluang untuk menyatakan oposisi terhadap rezim otoriter yang sedang berkuasa, termasuk menentang pemilihan umum yang diselenggarakan oleh rezim tersebut.
f.       Membina hubungan dengan media massa internasional, organisasi-organisasi HAM di luar negeri, serta berbagai organisasi transnasional. Terutama, memperoleh dukungan dari Amerika Serikat.
g.      Menggalang persatuan di antara kelompok-kelompok oposisi hingga pada taraf tertentu dapat mendirikan suatu koalisi yang besar, di mana koalisi tersebut terdiri dari berbagai organisasi yang dapat memayungi semua kelompok oposisi untuk melancarkan kerjasama di antara mereka.
h.      Segera mengisi kevakuman kekuasaan setelah rezim otoriter tersebut jatuh
Upaya mengisi kekosongan kekuasaan dapat dilakukan dengan cara:
1.      Mengajukan seorang pemimpin yang populer, memiliki kharisma, dan mendukung  demokrasi.
2.      Menyelenggarakan pemilihan umum secepatnya guna memperoleh legitimasi rakyat bagi pemerintahan demokratis yang baru.
3.      Membangun legitimasi internasional dengan menggalang dukungan dari para pelaku di luar negeri atau pelaku transnasional seperti; organisasi-organisasi internasional, pemerintah Amerika Serikat, Masyarakat Eropa, dsb.


3.      Transplacement, terjadi jika demokratisasi merupakan hasil dari tindakan yang dilakukan secara bersama-sama oleh kelompok pemerintah dan kelompok oposisi. Kelompok konservatif dalam rezim berada pada posisi yang seimbang dengan pemerintah, tetap pemerintah sendiri hanya bersedia merundingkan perubahan, dan tidak mau memprakarsai perubahan rezim. Hal ini sangat berbeda dengan adanaya dominasi  kelompok konservatif yang menimbulkan replasemen.
Ciri-ciri dari proses transplacement :
a.       Demokratisasi merupakan hasil aksi bersama pemerintah dan kelompok oposisi.
b.      Terdapat keseimbangan di antara kelompok pengusung demokrasi dengan kelompok konservatif.
c.       Pemerintah bersedia merundingkan pembaharuan namun tidak mau memprakarsai suatu perubahan rezim.
d.      Pemerintah harus didorong atau ditarik ke dalam perundingan dengan pihak oposisi, baik itu perundingan formal atau informal.
e.       Di pihak oposisi, kelompok moderat yang demokratis cukup kuat untuk mengendalikan kelompok radikal yang anti-demokrasi. Namun, pihak oposisi ini kurang kuat untuk menggulingkan pemerintahan rezim otoriter. Oleh karena itu, perundingan dengan pemerintah yang berkuasa merupakan satu-satunya cara yang dapat ditempuh oleh pihak oposisi.
f.       Dalam transplacement yang berhasil kelompok yang mendominasi pemerintahan dan pihak oposisi saling menyadari bahwa mereka tidak mampu menetapkan sistem politik negaranya di masa depan jika hanya dilakukan secara sepihak.
g.      Dengan demikian, transplacement dapat terjadi jika kepercayaan kedua belah pihak itu telah berubah, yaitu pihak oposisi telah menyadari bahwa mereka sebenarnya tidak cukup kuat untuk menggulingkan pemerintahan yang berkuasa.
h.      sementara pemerintah juga menyadari bahwa pihak oposisi sebenarnya cukup kuat untuk memaksa pemerintah karena:
1). Dapat melenyapkan kelompok-kelompok konservatif dari pemerintahan.
2). Menciptakan perpecahan hebat di dalam tubuh pemerintah yang berkuasa.
3). Meningkatkan kemungkinan terjadinya pengambilan pemerintahan oleh       kelompok garis keras.
4). Menimbulkan kerugian legitimasi internasional yang cukup besar.
Proses transplacement seringkali melibatkan langkah-langkah yang berbeda, seperti:
1.      Pemerintah sibuk dengan proses liberalisasi dan mulai kehilangan kekuasaan serta otoritasnya.
2.      Kemudian pihak oposisi mengeksploitasi longgarnya kekuasaan dan otoritas pemerintah, kemudian memanfaatkan kondisi pemerintah yang sedang lemah untuk memperluas dukungan dan mengintensifkan kegiatannya dengan harapan bahwa mereka akan segera mampu menjatuhkan pemerintah yang berkuasa.
3.      Pemerintah bereaksi keras dengan membendung dan menekan upaya pihak oposisi yang sedang memobilisasi kekuasaan politik.
4.      Pemerintah dan para pemimpin oposisi menyadari munculnya kekuatan tandingan yang seimbang dan mulai menjajaki berbagai kemungkinan untuk mengadakan transisi yang disetujui kedua belah pihak.
Proses yang melibatkan berbagai pihak :
a.       Transplacement dalam proses demokratisasi yang dilakukan oleh kelompok pembaharu demokratis di pemerintah saat melakukan suatu perundingan dengan pemerintah otoriter yang berkuasa dalam upayanya mewujudkan perubahan rezim dilakukan melalui beberapa cara, antara lain:
1.      Mengucilkan dan melemahkan kelompok konservatif yang ada dalam kelompok oposisi.
2.      Mengkonsolidasikan kendali atas pemerintahan dan aparat politik.
3.      Merebut prakarsa dan melakukan sesuatu yang mengejutkan kelompok oposisi serta kelompok konservatif dengan konsesi-konsesi yang dapat diberikan.
4.      Memperoleh persetujuan dari para jenderal yang memegang peranan penting serta persetujuan dari para pejabat tinggi dalam jajaran keamanan atas pelaksanaan perundingan bagi terciptanya suatu perubahan rezim.
5.      Berupaya meningkatkan wibawa, wewenang, dan sikap moderat mitra runding utama dari pihak oposisi.
6.      Menciptakan “saluran-saluran belakang” yang bersifat rahasia dan dapat dipercaya untuk merundingkan masalah utama dengan para pemimpin oposisi.
7.      Jika perundingan berhasil, maka kelompok pembaharu demokratis kemungkinan besar akan berada di pihak oposisi. Mereka harus menekankan adanya perolehan jaminan dan perlindungan atas hak-hak pihak oposisi serta kelompok-kelompok yang terkait dengan pemerintah, misalnya militer.
b.      Transplacement dalam proses demokratisasi yang dilakukan oleh kelompok moderat demokratis di pihak oposisi saat melakukan suatu perundingan dengan pemerintah otoriter yang berkuasa agar dapat mewujudkan perubahan rezim dilakukan melalui beberapa cara, antara lain:
1.      Mempersiapkan kelompok moderat demokratis di pihak oposisi untuk memobilisasi pendukung-pendukung kelompoknya guna melakukan demonstrasi karena demonstrasi juga dapat melemahkan kelompok konservatif dalam pemerintahan.
2.      Mampu mengontrol diri dan tampil seperti seorang negarawan.
3.      Mempersiapkan diri untuk melakukan perundingan. Jika perlu, memberikan konsesi mengenai semua isu kecuali tentang penyelenggaraan pemilihan umum yang bebas dan adil.
4.      Menyadari besarnya kemungkinan bahwa kelompok oposisi akan memenangkan pemilu. Oleh karenanya, jangan melakukan tindakan yang nantinya akan menyulitkan oposisi dalam menjalankan pemerintahan.
c.       Transplacement dalam proses demokratisasi yang dilakukan oleh pejuang demokrasi di kalangan pemerintah maupun di kalangan oposisi ketika berunding dengan pemerintah otoriter yang berkuasa guna mewujudkan perubahan rezim dilakukan melalui beberapa cara:
1.      Meraih semua kesempatan yang ada dan segera bergerak dengan cepat untuk menyelesaikan isu-isu pokok. Sebab, keadaan politik yang mendukung transisi yang dirundingkan tidak akan berlangsung dalam waktu lama.
2.      Menyadari bahwa masa depan demokrasi sangat tergantung pada keberhasilan kelompok pejuang demokrasi dalam mencapai kesepakatan mengenai transisi menuju demokrasi.
3.      Menolak tuntutan para pemimpin dan kelompok-kelompok di pihak pejuang demokrasi yang dapat menyebabkan proses perundingan tertunda atau dapat mengancam kepentingan utama pendukung kelompok pejuang demokrasi.
4.      Menyadari bahwa keklompok-kelompok radikal dan konservatif di kalangan pemerintah maupun oposisi mungkin akan menolak persetujuan yang telah dicapai. Namun, mereka takkan dapat memiliki alternatif lain untuk memperoleh dukungan secara luas.
5.      Mengadakan kompromi jika terdapat keragu-raguan.


·         Faktor Penopang  dan kendala Transisi menuju Demokrasi
Tiga faktor ini memiliki pengaruh yang sangat besar terhadap pembangunan Demokrasi, yaitu
1.      Pembangunan Ekonomi, Menurut Huntington Pembangunan Ekonomi ini akan melahirkan tiga hal esensial bagi demokrasi :
a.       Tingkat moral pendidikan yang tinggi yang mendukung demokrasi,
b.      Perluasaan kelas menengah dan penambahan jumlah borjuasi yang menopang demokrasi,
c.       Membentuk budaya warga masyarakat, kepercayaan, tanggung jawab dan kompetisi yang sehat.
2.      Civil Society, merupakan asosiasi politik yang mempelajari tentang demokrasi, dimana setiap warga Negara dapat belajar tentang seni berasosiasi. Disini semua warga Negara belajar mengubah pandangan mengorganisir diri sebagai bentuk otonomi dan independensi mereka dalam bernegara. Titik terangnya adalah civil society sebagai tempat yang mempelajari tentang demokrasi. Dan dalam demokrasi itu sendiri mempunyai aturan yang sangat jelas dalam menyelesaikan persoalan  dalam masyarakat, sehingga menutup kemungkinan adanya tindakan barbarian  (main hakim sendiri).
Civil Soceity sebagai ruang (space) merupakan tempat yang potensial bagi pertumbuhan demokrasi, karena dalam ruang inilah setiap individu dan kelompok sosial dalam masyarakat saling berinteraksi, berkomunikasi, berdialog, berdiplomasi, bernegosiasi tentang berbagai realita sosial yang ada dalam masyarakat. Dalam ruangan ini pula kepentingan privat dan kepentingan publik akan bertemu. Dan ruang ini bisa berupa Alun-alun, kantor DPRD, taman kota, masjid dll. Atau bisa juga berbentuk institusi publik yang secara normatif dan prosedural mengatur dan memperjuangkan berbagai jenis kepentingan masyarakat, seperti LSM, Organisasi Sosial Politik, Organisasi Kemasyarakatan Umum yang termasuk didalamnya Organisasi Mahasiswa.
Hubungan antara Civil Society, Ruang, Kepentingan dan Demokrasi
3.      Perluasan Kelas Menengah. Kelas Menengah yang kuat akan menopang demokrasi, karena semakin  banyak kelas menengah semakin tinggi tingkat partisipasi mereka dalam berbagai bidang baik itu ekonomi, sosial, politik, budaya dll.
Kendala Proses Transisi Demokrasi
Beberapa peristiwa dunia akhir ini, ditandai dengan maraknya gerakan massa yang menuntut perubahan mendasar terhadap struktur politik dan ketatanegaraan, selain menuntut perbaikan sosial-ekonomi. Itu semua oleh pengamat disebut sebagi gelombang transisi menuju demokrasi dalam skala dunia. Runtuhnya tembok Berlin, gerakan pro-demokrasi di Hongaria/ Cekoslowakia, termasuk di belahan negara sosialis seperti Eropa Timur, Cina, Vietnam, dan Nikaragua, Yugoslavia merupakan bukti atas gerakan itu. Sehingga, sejak awal dasa warsa delapan puluhan, di negara-negara itu dapat dikatakan tidak mengenal “tanpa “desakan rakyat”.
Itu semua oleh, Francis Fukuyama (1992: 7-12.), dianggap sebagai proses yang sangat menjanjikan terhadap proses demokrasi. Proses itu menurutnya dianggap sebagai proses menuju the end of historis, yang berwujud kemenangan kapitalisme, dan demokrasi liberal di seluruh bumi. Melihat fenomena ini Fukuyama yakin bahwa proses sejarah demokrasi di dunia dapat diprediksi berjalan secara linier utopis. Sehingga Fukuyama yakin seluruh dunia akan menganut sistem demokrasi sebagai sistem pemerintahan terbaik, dengan demikian the end of historis akan terlaksana.
Proses demokrasi yang diprediksi oleh Fukuyama akan berjalan linier, di bawah payung ekonomi liberal produk dari proyek pencerahan (enlightenmeney). Hal ini ternyata masih perlu dipertanyakan, termasuk dalam penelitian ini akan berusaha membuktikan linieritas proses demokratisasi yang meliputi liberalisasi, transisi, dan konsolidasi dari Huntington.
Minimal ada dua kendala dalam proses transisi demokrasi, yaitu kendala internal dan eksternal. Di Eropa Timur muncullah aksi-aksi protes bercorak rasial seperti di Jerman dan Perancis, gejolak konflik etnis dan agama, seperti di Cekoslowakia dan Indonesia, termasuk di bekas Yugoslavia dan bekas Uni Sofyet, munculnya kembali aspirasi komunis seperti di Polandia dan Rusia. Di Cina hambatan internal berupa pembantaian berdarah di lapangan Tiananmen (Wang, 1997).
Richard Rose (2000) dalam penelitiannya yang membahas hambatan demokrasi tingkat adtvice di Austria dan Switzerland, menyimpulkan bahwa Consensus antar elit partai runtuh :
a.       setiap orang  mempunyai perbedaan kebutuhan dalam menentukan masa depan pemerintahan dan partainya,
b.      adanya provokasi antar pendukung partai sehingga memperuncing konsensus yang telah disepakati.
Hambatan eksternal dan juga internal secara bersama-sama banyak ditemui di negara Amerika Latin, Afrika dan Asia, di mana kilter menunjukkan tanda-tanda tidak mau kembali ke barak. Di Asia sebagai contoh Indonesia, Korea Selatan, Taiwan, Filipina, Vietnam, dan Kamboja proses transisi juga masih menemui kendala baik internal maupun eksternal (Curtis,1997). Di Amerika Latin, seperti di Cili, Brazil, Argentina, Venezuela, Nikaragua, ([an Meksiko demokrasi juga masih menemui hambatan (Whitehead 2000). Di Afrika dan Timur Tengah, seperti Iran, Mesir, Marokn Negeria, Sudan, Arab Saudi, Oman demokrasi juga masih saneat alot (Johanbegloo, 1997). Kasus yang lebih tragis lagi adalah di Aljazair, Irak Libia Somalia, El-Salvador, Guatemala, Paraguay, Myanmar, Korea Utara, di mana demokrasi telah hilang kembali dari putaran negara itu, berubah menjadi negara yang otoriter-diktator. Kendala internal dan eksternal sama kuatnya menghalangi proses-proses politik yang mengarah pada proses transisi demokrasi, termasuk di Indonesa, dengan tidak menutup kemungkinan transisi demokrasi di pedesaan juga akan menemui berbagai kendala meskipun dikemas dalam bingkai otonomi.
Kendala yang muncul pada tingkat nasional dapat dikategorikan menjadi enam yaitu:
a.       ancaman disintegrasi bangsa.
b.      konflik SARA.
c.       tidak ada penegakan hukum.
d.      ancaman kebebasan pers dari intimidasi.
e.       ancaman militerismg.
f.       kurupsi meraja lela
Sedangkan kendala pada tingkat desa dapat diidentifikasi seperti :
a.       menguatnya etnisitas.
b.      budaya masyarakat desa yang bertentangan dengan demokrasi seperti offer permisive dan terlalu percaya dan patuh pada pimpinan,
c.       rendahnya tingkat pendidikan politik.

Perspektif Transisi Menuju Demokrasi
Ada empat perspektif arus utara yang menjelaskan proses transisi menuju demokrasi  skala global dan perubahanpolitik di Indonesia yaitu:
1.      pendekatan yang berpusat pada masyarakat,
2.      pendekatan yang berpusat pada negara,
3.      pendckatan kontingensi elite, dan
4.      pendekatan kontekstual yang berfokus pada lingkungan terbesar yang melengkupi proses transisi.

·         Memimpin di masa transisi
Era Reformasi disebut sebagai masa transisi menuju demokrasi. Pada saat ini dibutuhkan pemimpin yang memahami perubahan. Saat ini kita sudah mengerti bahwa pemerintahan tidak bisa terus menerus dikelola dengan mengulangi praktik dan cara masa lalu. Ini terjadi karena transisi muncul dalam setiap upaya pada saat perubahan. Transisi menempatkan manusia ke dalam perubahan. Perubahan bersifat eksternal (kebijakan, praktik, struktur berbeda yang ingin diwujudkan pemimpin). Masalahnya sebagian pemimpin membayangkan bahwa transisi terjadi secara otomatis, kenyataannya tidak demikian. Transisi terjadi karena adanya perubahan. Bahkan ketika perubahan menunjukan tanda-tanda akan berhasil masih ada masalah waktu.
Sebab transisi jauh lebih lambat dibanding dengan perubahan mencakup tiga proses,
1.      meninggalkan cara lama yang membuat orang sukses di masa lampau.
2.      merubah menjadi netral, mengatasi ketidakpastian dan mengerjakan apa yang diminta.
3.      maju dengan berperilaku dengan cara yang baru
Jenis kepemimpinan yang paling efektif saat ini adalah wujud bantuan kolaboratif yang bersifat pemecahan masalah dan pengembangan target berupa situasi sekaligus kemampuan professional sesorang.
Kepemimpinan Visioner di Abad ke-21
Para pemimpin yang efektif selalu mempunyai rencana, mereka berorientasi penuh pada hasil yang akan dicapai:
1.      Mereka mengadopsi visi-visi baru yang menantang yang dibutuhkan dan bisa dijangkau.
2.      Mereka mengkomunikasikan visi-visi tersebut dan mempengaruhi orang lain sehingga arah baru mereka mendapat dukungan dan bersemangat memanfaatkan sumber daya dan
3.      energy yang mereka miliki untuk mewujudkan visi-visi tersebut.
Organisasi pada abad 21 membutuhkan
1.      kepemimpinan yang visioner. Organisasi manapun tidak dapat berfungsi tanpa kepemimpinan visioner, karena organisasi yang dipengaruhi oleh perubahan teknologi yang sangat cepat. Kebutuhan akan kepemimpinan visioner bukan saja untuk kekuatan yang menyatukan ribuan tugas, melainkan tidak ada cara lain untuk menampung energy atau kejeniusan para pekerja berpengetahuan tanpa kepemimpinan visioner.
2.      Kekuatan pada organisasi-organisasi abad 21 cenderung mengalir kepada mereka yang mempunyai kapasitas untuk menghadapi tantangan dan menginspirasi professional. Tingkat pengaruh dan kompleksitas global menyebabkan sebuah visi tertentu hanya bermanfaat untuk waktu yang terbatas.
3.      Organisasi abad ke 21 menekankan peran pemimpin visioner sebagai agen perubahan, mempromosikan eksperimentasi, menciptakan perubahan dan menetapkan budaya perusahaan yang di dalamnya menyangkut keberanian mengambil resiko dan partisipasi yang luas sangat menghargai.
·         Masa Transisi Otoriter-Demokrasi
Pemerintahan otoriter Orde Baru yang menekan dan membelenggu masyarakat menimbulakn kejenuhan dalam benak. Kejenuhan masyarakat terhadap pemerintahan Orde Baru telah memunculkan berbagai gerakan-gerakan politik masyarakat terutama kalangan mahasiswa. Gerakan-gerakan politik yang terus mendesak pemerintahan otoritarian Soeharto akhirnya berujung pada kejatuhan rezim Orba. Kejatuhan rezim Orba merupakan starting point bagi NKRI dalam merubah haluan sistem pemerintahan dari Otoriter yang diterapkan Soeharto menjadi negara demokrasi. Demokrasi yang dimaksud bukan hanya mengadopsi sebagian prinsip demokrasi, melainkan demokrasi yang diidam-idamkan dan berusaha untuk diwujudkan adalah demokrasi yang terkonsolidasi. Demokrasi yang terkonsolidasi merupakan demokrasi yang menyeluruh, setiap elemen-elemen negara menerapkan sistem demokrasi yang baik dalam mencapai kestabilan ketatanegaraan. Oleh karena itu, Indonesia saat ini belum dikatakan sebagai negara Demokrasi yang terkonsolidasi, melainkan masih menuju ke titik tersebut yang disebut dengan era transisi. Hasil dari kejatuhan rezim otoriter adalah liberalisasi politik dimana setiap hak warga negara diperjuangkan. Perjuangan tersebut baru muncul setelah katup politik terhadap masyarakat terbuka, yang dulunya dalam masa otoriter masyarakat hanya penonton dalam perpolitikan, sekarang masyarakat telah menjadi salah satu inti dari perpolitikan suatu negara sehingga masyarakat bebas membuat kelompok dan bersuara depan pemerintah untuk menggunakan hak-hak yang dimiliki. Partisi politik masyarakat ini akhirnya ngetren di kalangan masyarakat. Kebebasan yang telah terkungkung selama ini pada masa otoriter meledak dan menjadi suatu euphoria masyarakat atas kebebasannya. Euphoria sendiri didukung dengan keadaan negara yang lemah karena masih dalam penataan ulang pasca reformasi besar-besaran. Pascareformasi 1998, masyarakat seolah-olah bebas dan merdeka untuk yang kedua kalinya setelah melawan penjajah. Masyrakat menjadi lebih berani dalam melancarkan aksi-aksinya dalam menyampaikan aspirasinya kepada pemerintah. Termasuk melakukan protes-protes kepada pemerintah baik yang bersifat demonstrasi yang tertib maupu yang anarkis. Bahkan juga mengungkit masalah-masalah pelanggaran-pelanggaran yang telah di perbuat pemerintah Orba, seakan-akan masyarakat meminta pertanggungjawaban pemerintah atas perlakuannya selama ini terhadap rakyat. seperti inilah keadaan masyarakat sekarang ini di masa transisi.
Konflik Horizontal
Indonesia dikenal sebagai negara “warna-warni”. Mulai dari suku, ras, agama, warna kulit, sampai pada lautan yang memisahkan antar individu. Semua itu bukanlah masalah bagi tegaknya negara ini, terbukti dari catatan sejarah yang telah dilukis oleh bangsa ini sebagai bangsa yang memiliki rasa toleransi yang tinggi dengan bersatunya seluruh elemen bangsa dalam memperjuangkan kemerdekaan. Namun, semua itu telah gugur pada jaman transisi menuju demokrasi yang terkonsolidasi. Sebenarnya konflik horizontal telah banyak bermunculan sebelum kejatuhan Soeharto. Konflik tersebut muncul dikarenakan rasa kekecewaan masyarakat yang menggumpal pada pemerintah. Di lain sisi, masyarakat tak mampu menghadapi kekuatan pemerintah sehingga yang menjadi korban pelampiasan adalah golongan-golongan minoritas baik itu secara etnis maupun budaya. Kasus konflik horizontal di era transisi sendiri berbeda dengan era pra jatuhnya Orba. Pemicu konflik horizontal yang terjadi akhir-akhir ini bukan hanya pada perbedaan kultur dan etnis, namun yang menjadi pemicu adalah perbedaan kepentingan, garis politik, serta cita-cita ideologis.
Perputaran Roda Keteraturan-Ketidakteraturan
Jaman berganti bagaikan roda yang berputar, kadang diatas kadang dibawah. Indonesia pada masa penjajahan merupakan jaman ketidak teraturan atau terbengkalainya kebangsaan Indonesia, kemerdekaan dan menjadi stabil dan teratur dengan berbagai macam sistem pemerintahan yang telah diterapkan. Jaman ini adalah jaman pergantiaan atau era transisi yang harus dijalani dimana perubahan dengan berbalik 180° dari sistem Otoriter menjadi Demokrasi yang terkonsolidasi adalah suatu langkah yang berat sehingga membutuhkan banyak perubahan dan penyesuaian. Dalam masa transisi, penempatan dan pengaturan elemen-elemen sosial kemasyarakatan masih belum jelas dan terinci yang menyebabkan setiap kelompok-kelompok social masih mencari tatanan hidup mereka dengan melakukan aksi-aksinya agar pemerintah bisa memberikan posisi yang tepat bagi kelompok-kelompok tersebut. Biasanya konflik terjadi karena hal-hal yang sepele seperti ketersinggungan dan kesalah pahaman yang belakangan ini sangat sering terjadi. Oleh karena itu, wajarlah jika pada akhir-akhir ini di masa transisi ini terjadi banyak gejolak social dalam bentuk konflik horizontal dan semua negara mengalami gejala-gejala seperti ini saat dalam masa transisi. Sesuai dengan penelitian Ted Robert Gur yang menyatakan bahwa meletupnya konflik horizontal terjadi di era transisi. Jadi tidaklah heran jika di negara kita akhir-akhir ini banyak terjadi konflik horizontal yang merupakan suatu proses dalam mencapai suatu kestabilan kembali sesuai dengan perputaran roda ketidakteraturan menuju keteraturan yang suatu saat penghujungnya akan mencapai kestabilan kembali. Untuk mengarahkan jalannya masa transisi ini kearah yang benar, dibutuhkan juga peran pemerintah dalam masyarakat sebagai penetrasi atau penengah dalam resolusi konflik. Jadi berdasarkan ulasan diatas, masalah-masalah bernuansa SARA akhir-akhir ini bukanlah semata-mata karena ketidak seriusan pemerintah, melainkan kejadian-kejadian tersebut adalah suatu proses tercapainya keteraturan yang baru yakni demokrasi yang terkonsolidasi. Dalam rentang waktu kurang lebih 5 tahun terakhir ini, telah banyak kasus bernuansa SARA terjadi di Indonesia. Kejadian-kejadian yang berpotensi SARA pada 5 tahun terakhir ini dimulai dari kasus 31 pembakaran rumah terhadap keluarga yang beraliran Ahmadiah di Lombok Barat oleh sekelompok warga pada Februari 2006, disusul dengan penyerangan terhadap kelompok Ahmadiah pada Desember 2007 di Jawa Barat dan Mei 2008 di Sukabumi. Kasus lain yakni penyerangan terhadap iring-iringan jemaat Huria Kristen Batak Protestan (HKBP) di Bekasi pada September 2010 dan pembakaran madrasah Al-Mahmud milik Ahmadiah yang dilakukan oleh sekelompok massa pada 27 Desember 2010. Tak hanya berakhir pada kasus tersebut.Puncak dari kasus-kasus  yang berpotensi menjadi konflik SARA (suku, agama, rasa, dan antar golongan) terjadi pada tanggal 6 Februari 2011 yang menewaskan tiga orang jemaah Ahmadiah dan tujuh orang lainnya luka-luka akibat penyerangan kediaman pimpinan Ahmadiah di kampung Peundeuy, Desa Umbulah, Kecamatan Cikeusik  yang diserang oleh ribuan massa. Menyusul setelah penyerangan Ahmadiah, pada tanggal 7 Februari 2011 terjadi lagi pembakaran gereja di Temanggung yang menyebabkan sembilan orang luka-luka serta kerusakan tiga gereja. Konflik telah banyak terjadi dalam 5 tahun terakhir ini, terutama konflik-konflik yang bernuansa SARA.
·         Politik 1998 Sebagai Masa Transisi
Dari Krisis Ekonomi ke Krisis Legitimasi
Memasuki awal tahun 1998 krisis ekonomi melanda hampir sebagian besar di negara di dunia tidak terkecuali Indonesia. Bahkan negara-negara di Asia Tenggara menjadi negara yang paling parah dilanda krisis ekonomi ini. Di Indonesia sendiri terjadi tingkat inflasi yang sangat tinggi sehingga melemahkan nilai mata uang rupiah terhadap mata uang asing. Keadaan ini membuat haarga barang-barang menjadi naik, sehingga sulit bagi masyarakat (terutama kelas menengah kebawah) untuk memenuhi kebutuhan hidupnya. Sehingga banyak terjadi kelaparan dimana mana. Krisis ekonomi yang terjadi tersebut ternyata tidak mampu diatasi oleh pemerintah. Pemerintah sepertinya telah kehilangan langkah strategisnya untuk memulihkan perekonomian dari terpaan badai krisis yang sangat dahsyat. Kelaparan yang terjadi dimana-mana membuat rakyat bertindak nekat dengan menjara bahan-bahan makanan dari tokoh-tokoh terdekat (terutama yang pemiliknay etnis keturunan). Kondisi ini membuat situasi negara menjadi sangat kacau. Rakyat mulai gelisah dengan keadaan negara. Bukan saja karena kondisi perekonomian yang sangat memburuk, tetapi juga alasan keamanan yang semakin tidak terjamin.
Tindakan kejahatan dapat terjadi dimana-mana. Ini membuat masyarakat (terutama masyarakat keturunan) menjadi sangat takut untuk keluar rumah. Hal ini menyebabkan kondisi negara menjadi tidak stabil. Rakyat pun mulai mempertanayakan peran negara dalam mengatasi masalah yang semakin kacau. Rakayat sepertinya mulai ragu akan kemampuan negara untuk mengatasi krisis dan mengatasi masalah kestabilitasan negara. Rakyat mulai tidak menaruh harapannya kepada negara untuk menyelesaikan masalah yang mereka hadapi, sehingga mereka berusaha untuk mnyelesaikan masalah mereka sendiri. Saling rebut-merebut makanan pun terus terjadi, tidak ada lagi yang dapat menjamin kesalmatan rakyat karena negara sudah dalam keadaan kacau.
Ketidakmampuan negara/pemerintahan Orde Baru dalam mengatasi krisis telah mengkis kepercayaan masyarakat terhadap negara. Negara dinilai telah gagal dalam mensejahterahkan rakyatnya. Dan rakyat pun mulai melakukan aksi-aksinya sebagai bentuk kekecewaan mereka terhadap negara. Kepercayaan rakyat kepada negara pun semakin hari semakin menipis. Dan negara/pemerintah Orba pun mulai kehilangan legitimasi dari rakayat Indonesia.

Pergolakan Melawan Kekuasaan
Krisis legitimasi yang melanda pemerintahan Orba membuat rakyat Indonesia mulai melakukan pergolakan untuk melawan rezim penguasa. Aksi masyarakat yang dipelopori oleh mahasiswa mulai terjadi dimana-mana. Aksi dilakukan untuk menuntut mundur penguasa Orde Baru Soeharto karena dinilai telah gagal dalam mengatasi masalah krisis ekonomi yang melanda Indonesia. Namun pergolakan yang dilakukan juga tidak berjalan dengan mulus. Sadar kekuasaannya mulai di guncang, Soeharto kemudian memerintahkan militer untuk menghadang aksi demonstrasi yang dilakukan oleh rakyat tersebut. Bahkan militer tidak segan-segan untuk melakukan tindakan represif yang berujung pada kematian di kalangan demonstran.
Jatuhnya korban pada pihak demosntran tidak membuat nyali masyarakat menjadi ciut, tetapi justru melecut semangat para demostran untuk terus melakukan aksi demi sebuah cita-cita yang mulia yaitu Indonesia baru tanpa Orba. Pergolakan tidak hanya dilakaukan oleh kelompok mahasiswa dan rakayat saja, melainkan juga dikalangan politisi yang berada dalam gerbong oposisi. Kekuatan politik di luar rezim penguasa seperti kelompok Islam NU(Abdurahman wahid), Muhamadiyah (Amien Rais) dan Kelompok Nasionalis (megawati) juga ikut melakukan pergolakan menentang rezim penguasa. Tokoh-tokoh masyarakat juga ikut menyatakan untuk melakukan pergolakan melawan kekuasaan Orde Baru. Situasi ini membuat rezim Orde Baru semakin terdesak.
Dukungan masa yang begitu kuat untuk melakukan pergolakan membuat oknum-oknum yang semulanya berada dilingkaran kekuasaan mulai berbalik untuk ikut bergabung melengserkan kekuasaan Soeharto. Desakan yang terus menerus dilakukan masa telah membuat sebagian pendukung Soeharto mulai meletakan loyalitas mereka selama ini. Hal ini ditandai dengan mengundur dirikannya sepuluh menteri dalam kabinet pemerintahan pada saat itu. Beberapa tokoh sentral partai golkar yang selama ini loyal terhadap Soeharto juga sudah mulai menarik dukungannya. Kali ini tekanan yang didapatkan Soeharto tidak hanya berasal dari luar, melainkan dari dalam lingkaran kekuasaannya sendiri. Kondisi ini membuat Soeharto benar-benar tersudut.
Posisi Soeharto pada saat itu sudah sangat terjepit karena mendapat tekanan baik dari dalam maupun dari luar. Kekuatan militer yang selama ini digunakan untuk melawan rakyat juga mulai kekurangan kekuatan karena menghadapi banyaknya jumlah rakyat yang turun dalam aksi demonstrasi. Pembangkangan juga terjadi di kubu militer dengan mengundurdirikannya Pangksotrad  pada saat itu yaitu Prabowo yang notabene adalah menantu dari Soeharto itu sendiri. Kondisi ini benar-benar membuat Soeharto mulai kehilangan kekuasaan karena ditinggalkan oleh orang-orang yang selama ini setia mendukungnya,
Pergolakan yang dilakukan rakyat akhirnya tidak dapat terbendung lagi. Mahasiswa berhasil menduduki kantor MPR, dan suara-suara untuk meminta Soeharto mundur pun mulai lantang terdengar. Karena telah kehilangan pendukungnya, maka Soeharto pun kemudian menyatakan mengundurkan diri dari jabatnnya sebagai Presiden Republik Indonesia di hadapan anggota MPR. Mahasiswa yang berada diluar gedung MPR, yang menyaksikan pembacaan pidato pengunduran diri tersebut lewat layar televisi menyambut dengan tepuk tangan yang meriah. Kekuasaan Soeharto sebagai presiden pun berakhir sudah.
Setelah Soeharto mengundurkan diri, maka sesuai dengan konstitusi pada saat itu posisi Soeharto sebagai Presiden akan digantikan oleh Habibie yang sebelumnya menjabat sebagai wakil presiden. Keadaan ini membuat pergolakan massa terus berlanjut. Para demostran menginginkan rezim Orde Baru benar-benar harus lengser sampai kroni-kroninya. [1][13]Habbie merupakan tangan kanan Soeharto, jadi rakyat kembali melakukan aksinya untuk melengserkan Habibie dari kursi presiden. Konsolidasi pun mulai dibangun diantara para demostran, tokoh oposisi dan tokoh masyarakat. Rakyat kemudian menuntut untuk dilakukan pemilihan umum yang demokratis untuk selanjutnya memilih anngota DPR dan Presiden serta Wakil Presiden yang baru.
Memasuki Masa Transisi
Setelah kekuasan Orde Baru berakhir maka dunia perpolitikan di Indonesia memasuki babak yang baru. Tidak ada yang bisa menjamin kelompok mana yang akan menjadi penguasa selanjutnya. Kelompok oposisi memang menjadi kelompok yang paling berpeluang untuk menjadi penguasa selanjutnya. Tapi tidak tertutup kemungkinan bahwa kelompok pemerintah sebelumnya juga dapat merebut kembali kekuasaannya. Ini disebabkan karena pada saat seperti ini Indonesia memasuki masa transisi dimana sebuah Era Politik (Orde Baru) telah berakhir dan Era selanjutnya akan datang.  Namun seperti apa Era selanjutnya tersebut masih menjadi sebuah misteri. Sesuai apa yang di utarakan oleh Guillermo O’Donnel dan Philippe C. Schmitter bahwa masa transisi mengara kepada sebuah ketidakpastian.
Untuk menentukan rezim penguasa pada masa selanjutnya, maka pada tahun 1999 diselenggarakanlah pemilihan umum. Pemilihan umum kali ini tidak hanya diikuti oleh tiga kontestan yang menjadi peserta dalam pemilu pada masa Orba melainkan berkembang menjadi 48 peserta partai politik. Banyaknya jumlah parpol yang berpartisipasi dalam pemilu juga diakibatkan karena pasca Orba pemerintah memberi kebebasan kepada masyarakat untuk mendirikan partai politik sebagai manifestasi dari kebebasan berserikat yang juga dijunjung oleh paham demokrasi. Pemilu ini kemudian menjadikan Partai Demokrasi Indonesia Perjuangan (PDIP) sebagai pemenang dalam pemilu tersebut. Sedangkan dalam pemilihan presiden yang dilakukan anggota DPR/MPR Abdurahman Wahid berhasil keluar sebagai peraih suara terbanyak disusul oleh Megawati Soekarno putri. Dengan hasil ini maka Abdurahman Wahid dan Megawati Soekarno Putri ditetapkan sebagai Presiden dan Wakil Presiden Pasca runtuhnya kekuasaan Orde Baru.
Ternyata benar apa yang dikatakan oleh Guillermo O’Donnell dan Philippe Schmitter bahwa masa transisi adalah sebuah rangkaian kemungkinan dan ketidakpastian. Abdurahman Wahid atau yang akrab di panggil Gusdur juga harus lengser di tengah-tengah masa jabatannya. Gusdur yang sesuai dengan konstitusi seharusnya memiliki masa jabatan sebagai presiden selama lima tahun akhirnya ditengah jalan mendapat tekanan dari parlemen dan diberhentikan melalui Sidang Istimewa MPR. Pertanggungjawaban Gusdur sebagai Presiden tidak diterima oleh sebagian besar anggota MPR sehingga Gusdur diberhentikan secara paksa oleh parlemen.
Sebagai penggantinya Megawati yang semula menjabat sebagai wakil presiden kemudian diangkat menjadi presiden menggantikan gusdur. Megawati menggantikan Gusdur untuk melanjutkan masa pemerintahan presiden yang berasal dari Partai Kebangkitan bangsa tersebut. Masa pemerintahan Gusdur yang begitu cepat membuktikan bahwa Indonesia pada saat itu masih berada dalam proses transisi untuk memasuki format politik yang baru.
Mengakhiri Masa Transisi
Fenomena mutakhir seputar politik-kebangsaan cukup menggugah perhatian kita untuk melihat kembali proses transisi demokrasi. Di ranah kekuasaan misalnya, pemerintah gagal mengonsolidasi diri menjadi kekuatan penggerak sekaligus penopang nilai-nilai berbangsa dan bernegara. Kegagalan itu, salah satunya, bisa dilihat dari terjeratnya beberapa elit pemerintah dalam kasus korupsi seperti kasus Century, Hambalang, impor daging sapi dan semacamnya. Pada sisi lain, di ranah kebangsaan, gejolak komunalisme dan primordialisme semakin meluas di mana setiap kelompok lebih mengedepankan kepentingan masing-masing. Organisasi massa saling mengibarkan bendera, memaksakan kehendak komunal bahkan dengan cara kekerasan. Sedangkan ruang sosial dipolitisasi sedemikian rupa sehingga masyarakat tersekat-sekat ke dalam kelompok-kelompok tertentu. Secara sepintas, kondisi tersebut memberi gambaran tentang bagaimana proses transisi demokrasi yang sedang kita tempuh. Proses itu menemui hambatan besar di dua ranah sekaligus, yaitu ranah kekuasaan dan ranah kebangsaan. Ironisnya, hal itu terjadi berulang-ulang seolah terjebak di lingkaran absurd, tanpa menemukan titik pijak dan titik puncak. Demokrasi memang berlangsung tetapi prahara dan muaranya tidak pernah berujung.
Dalam transisi demokrasi berlaku tesis bahwa suatu negara akan berhasil melewati masa transisi apabila seluruh elemen bangsa mengonsolidasi diri sesuai prinsip-prinsip demokrasi. Kasus Amerika Latin, Afrika, Argentina dan sebagainya sangat lamban bahkan bermasalah dalam proses demokratisasi karena gagalnya konsolidasi. Karena itu, demokrasi harus dikonsolidasi secara menyeluruh dengan mengeliminasi semua hal yang menjadi antitesa utamanya.
Krisis Bernegara
Krisis jiwa bernegara akan mengakibatkan gagalnya konsolidasi demokrasi. Penguasa sibuk mengamankan kekuasaan, elit politik mengedepankan kepentingan partai, masyarakat mengalami disorientasi dan menjelma menjadi kelompok massa yang cenderung anarkis. Selama krisis ini tidak diatasi, maka selama itu pula seluruh elemen bangsa tidak akan berhasil mengonsolidasikan diri. Jika demikian, maka era transisi demokrasi sampai kapan pun tidak akan berhasil pula dilewati.
Langkah pertama dalam mengatasi masalah tersebut harus dimulai dari elemen pemerintah sebagai pemangku jabatan lembaga negara. Pemerintah dan para elit politik harus mampu berdiri di tengah perbedaan kepentingan serta berkomitmen untuk memajukan bangsa. Kesamaan platform kebangsaan sangat dibutuhkan untuk menghancurkan sekat-sekat ideologis atau kepentingan dalam rangka konsolidasi demokrasi. Setelah itu, upaya meneguhkan jiwa bernegara perlu dilakukan dengan fokus pada dua hal. Yakni memperkuat negara dan menanamkan nilai-nilai kebangsaan. Upaya pertama berkaitan dengan upaya negara dalam menjamin kesejahteraan warganya. Di sini kesejahteraan warga negara berbanding lurus dengan semakin kuatnya suatu negara. Semakin sejahtera warga negara maka akan semakin kuat suatu negara. Begitu pula sebaliknya. Negara dengan tingkat kesejahteraan rendah hanya akan melahirkan tindakan yang menentang keutuhan. Tindakan seperti kriminalitas, konflik gampang mengemukan sehingga melemahkan negara. Tak ada lagi pertimbangan rasional untuk menjalin suatu kesatuan dalam bingkai kebangsaan. Jiwa bernegara tercabik-cabik oleh kemiskinan sehingga penetrasi ideologi yang bertentangan dengan dasar negara mudah diterima. Upaya kedua bisa dilakukan dengan memberikan pendidikan kebangsaan yang dimulai sejak dini di lembaga-lembaga pendidikan. Pada masa orde baru, terdapat penataran Pedoman Penghayatan dan Pengamalan Pancasila (P4) serta pendidikan moral Pancasila untuk menanamkan nilai-nilai kebangsaan sesuai ideologi negara. Akan tetapi pada masa reformasi, karena dinilai indoktrinasi, P4 kemudian dihapuskan dan pendidikan moral Pancasila diganti dengan pendidikan kewarganegaraan. Celakanya, perangkat pengganti itu tak begitu memadai untuk menanamkan nilai-nilai ideologis Pancasila karena tingkat kompetensinya sangat sederhana. Alih-alih menularkan nilai itu dalam jiwa bangsa, untuk memahami saja kurang memadai. Maka sangat wajar bila belakangan karakter bangsa untuk hidup toleran, terbuka, dan satu visi mewujudkan cita-cita kebangsaan mulai pudar. Oleh karena itu, menjadi kewajiban kita bersama, terutama pemerintah, untuk menjamin kesejahteraan masyarakat dan menanamkan nilai-nilai kebangsaan. Dua hal tersebut merupakan syarat utama dalam menempuh haluan sentripetal kebangsaan kita. Sikap mengedepankan kepentingan diri atau kelompok serta hal-hal yang menghambat konsolidasi demokrasi harus segera diakhiri. Jika tidak, maka sampai kapan pun kita tidak akan pernah berhasil keluar dari lingkaran absurd itu.
·         Orde Lama- Orde Baru (1950 – 1965 )
a. Orde Lama
1.  Demokrasi Liberal (1950 – 1959)
Dalam proses pengakuan kedaulatan dan pembentukan kelengkapan negara, ditetapkan pula sistem demokrasi yang dipakai yaitu sistem demokrasi liberal. Dalam sistem demokrasi ini presiden hanya bertindak sebagai kepala negara. Presiden hanya berhak mengatur formatur pembentukan kabinet. Oleh karena itu, tanggung jawab pemerintah ada pada kabinet. Presiden tidak boleh bertindak sewenang-wenang. Adapun kepala pemerintahan dipegang oleh perdana menteri. Dalam sistem demokrasi ini, partai-partai besar seperti Masyumi,PNI,dan PKI mempunyai partisipasi yang besar dalam pemerintahan. Dibentuklah kabinet-kabinet yang bertanggung jawab kepada parlemen (Dewan Perwakilan Rakyat ) yang merupakan kekuatan-kekuatan partai besar berdasarkan UUDS 1950. Setiap kabinet yang berkuasa harus mendapat dukungan mayoritas dalam parlemen (DPR pusat). Bila mayoritas dalam parlemen tidak mendukung kabinet, maka kabinet harus mengembalikan mandat kepada presiden. Setelah itu, dibentuklah kabinet baru untuk mengendalikan pemerintahan selanjutnya. Dengan demikian satu ciri penting dalam penerapan sistem Demokrasi Liberal di negara kita adalah silih bergantinya kabinet yang menjalankan pemerintahan. Kabinet yang pertama kali terbentuk pada tanggal 6 september 1950 adalah kabinet Natsir. Sebagai formatur ditunjuk Mohammad Natsir sebagai ketua Masyumi yang menjadi partai politik terbesar saat itu. Program kerja Kabinet Natsir pada masa pemerintahannya secara garis besar sebagai berikut ;
a.    Menyelenggarakan pemilu untuk konstituante dalam waktu singkat.
b.   Memajukan perekonomian, kesehatan dan kecerdasan rakyat.
c.   Menyempurnakan organisasi pemerintahan dan militer.
d.  Memperjuangkan soal Irian Barat tahun 1950.
e.   Memulihkan keamanan dan ketertiban.
Pada masa Demokrasi Liberal ini juga berhasil menyelenggarakan pemilu I yang dilakukan pada 29 september 1955 dengan agenda pemilihan 272 anggota DPR yang di lantik pada 20 Maret 1956. Pemilu pertama tersebut juga telah berhasil badan konstituante (sidang pembuat UUD). Selanjutnya badan konstituante memiliki tugas untuk merumuskan UUD baru. Dalam badan konstituante sendiri, terdiri berbagai macam partai, dengan dominasi partai-partai besar seperti NU,PKI,Masyumi dan PNI. Dari nama lembaga tersebut dapatlah diketahui bahwa lembaga tersebut bertugas untuk menyusun konstitusi. Konstituante melaksanakan tugasnya ditengah konflik berkepanjangan yang muncul diantara pejabat militer, pergolakan daerah melawan pusat dan kondisi ekonomi tak menentu.



2. Demokrasi Terpimpin (1959 – 1965)
a.      Sistem politik Demokrasi Terpimpin
Kekacauan terus menerus dalam kesatuan negara Republik Indonesia yang disebabkan oleh begitu banyaknya pertentangan terjadi dalam sistem kenegaraan ketika diberlakukannya sistem demokrasi liberal. Pergantian dan berbagai respon dari daerah dalam kurun waktu tersebut memaksa untuk dilakukannya revisi terhadap sistem pemerintahan. Ir.Soekarno selaku presiden memperkenalkan konsep kepemimpinan baru yang dinamakan demokrasi terpimpin. Tonggak bersejarah di berlakukannya sistem demokrasi terpimpin adalah dikeluarkannya Dekrit Presiden 5 Juli 1959. Peristiwa tersebut mengubah tatanan kenegaraan yang telah terbentuk sebelumya. Satu hal pokok yang membedakan antara sistem Demokrasi Liberal dan Demokrasi Terpimpin adalah kekuasaan Presiden. Dalam Demokrasi Liberal, parlemen memiliki kewenangan yang terbesar terhadap pemerintahan dan pengambilan keputusan negara. Sebaliknya, dalam sistem Demokrasi Terpimpin presiden memiliki kekuasaan hampir seluruh bidang pemerintahan.
Dengan diberlakukannya Dekrit Presiden 1959 terjadi pergantian kabinet dari Kabinet Karya (pimpinan Ir.Djuanda) yang dibubarkan pada 10 juli 1959 dan digantikan dengan pembentukan Kabinet Kerja yang dipimpin oleh Ir.Soekarno sebagai perdana menteri dan Ir.Djuanda sebagai menteri pertama. Kabinet ini  yang memiliki program khusus yang berhubungan dengan masalah keamanan,sandang pangan, dan pembebasan Irian Barat. Pergantian institusi pemerintahan antara lain di MPR (pembentukan MPRS), pembentukan DPR-GR dan pembentukan DPA.
Perkembangan dalam sistem pemerintahan selanjutnya adalah penetapan GBHN pertama. Pidato Presiden pada acara upacara bendera tanggal 17 agustus 1959 berjudul ”Penemuan Kembali Revolusi Kita” dinamakan Manifestasi Politik Republik Indonesia(Manipol),yang berintikan USDEK (UUD 1945,Sosialisme Indonesia, Demokrasi Terpimpin, Kepribadian Indonesia). Institusi negara selanjutnya adalah mengitegrasikan sejumlah badan eksekutif seperti MPRS, DPRS, DPA, Depernas, dan Front Nasional dengan tugas sebgai menteri dan ikut serta dalam sidang-sidang kabinet tertentu yang selanjutnya ikut merumuskan kebijaksanaan pemerintahan dalam lembaga masing-masing.
Dalam Demokrasi Terpimpin presiden mendapat dukungan dari tiga kekuatan besar yaitu Nasionalis, Agama dan Komunis. Ketiganya menjadi kekuatan presiden dalam mempertahankan kekuasaannya. Kekuasaan mutlak presiden pada masa itu telah menjadikan jabatan tersebut sebagai pusat legitimasi yang penting bagi lainnya. Presiden sebagai penentu kebijakan utama terhadap masalah-masalah dalam negeri maupun luar negeri.
Gerakan 30 September 1965
Salah satu momen sejarah yang mungkin paling membekas dalam perjalanan sejarah Indonesia adalah Peristiwa Gerakan 30 September 1965. Peristiwa tersebut sampai saat ini masih menimbulkan kontrofersi dalam pengungkapan fakta yang sebenarnya.
Dampak G 30 S dan Proses Peralihan Kekuasaan Politik:
Adapun dampak dari peristiwa G 30 S adalah :
1.      Demostrasi menentang PKI
Penyelesaian aspek politik terhadap para pelaku G 30 S 1965/PKI akan di putuskan dalam sidang Kabinet Dwikora tanggal 6 Oktober 1965 dan belum terlihat adanyaa tanda-tanda akan dilaksanakan. Berbagai aksi digelar untuk menuntut pemeritah agar segera menyelesaikan masalah tersebut dengan seadil-adilnya. Aksi dipelopori oleh kesatuan aksi pemuda-pemuda dan pelajar-pelajar Indonesia seperti KAPPI,KAMI dan KAPI. Mucul pula kasi yang dilakukan oleh KABI,KAWI yang membulatkan tekad dalam Front Pancasila.
2.      Mayjen Soeharto menjadi Pangad
Sementara itu untuk mengisi kekosongan pimpinan AD, pada tanggal 14 oktober 1965 Panglima Kostrad/Pangkopkamtib Mayjen Soeharto diangkat menjadi Menteri/Panglima AD. Bersamakan itu diadakan tindakan-tindakan pembersihan terhadap unsur-unsur PKI dan ormasnya.
3.      Kedaan ekonomi yang buruk
Sementara itu kedaan ekonomi semakin memburuk. Pada saat itu politik sebagai panglima, akibatnya masalah lain terabaikan. Akibatnya di daerah muncul berbagai gejolak sosial yang pada puncaknya menimbulakan pemberontakan.
4.      Tri Tuntutan Rakyat
Pada tanggal 12 januari 1966 berbagai kesatuan aksi yang tergabung dalam Front Pancasila tersebut berkumpul di halaman gedung DPR-GR untuk mengajukan Tritura yang isinya :
a.   Pembubaran PKI dan ormas-ormasnya.
b.   Pembersihan kabinet Dwikora dari unsur-unsur PKI.
c.   Penurunan harga barang-barang.
Aksi Tritura berlangsung selama 60 hari sampai dikeluarkannya surat perintah 11 Maret 1966.

5.      Kabinet seratus menteri
Pada tanggal 21 februari 1966 presiden Soekarno mengumumkan perubahan kabinet 59(reshuffle). Kabinet baru ini diberi nama kabinet Dwikora yang disempurnakan.
Adapun proses peraliahan kekuasaan politik dari orde lama ke orde baru adalah sebagai berikut ;
·         Tanggal 16 Oktober 1966 Mayjen Soeharto telah dilantik menjadi Menteri Panglima Angkatan Darat dan dinaikkan pangkatnya menjadi Letnan Jenderal. Pada awalnya untuk menghormati presiden AD tetap mendukungnya. Namun presiden enggan mengutuk G 30 S AD mulai mengurangi dukungannya dan lebih muali tertarik bekerja sam dengan KAMI dan KAPPI.
·         Keberanian KAMI dan KAPPI terutam karena merasa mendapat perlindungan dari AD. Kesempatan ini digunakan oleh Mayjen Soeharto uintuk menawarkan jasa baik demi pulihnya kemacetan roda pemerintahan dapat diakhiri. Untuk itu ia mengutus tiga Jenderal yaitu M.Yusuf, Amir macmud dan Basuki Rahmat oleh Soeharto untuk menemui presiden guna menyampaikan tawaran itu pada tanggal 11 Maret 1966. Sebagai hasilnya lahirlah surat perintah 11 Maret 1966          .
·         Pada tanggal 7 februari 1967, jenderal Soeharto menerima surat rahasia dari Presiden melalui perantara Hardi S.H. Pada surat tersebut di lampiri sebuah konsep surat penugasan mengenai pimpinan pemerintahan sehari-hari kepada pemegang Supersemar.
·         Pada 8 Februari 1967 oleh Jenderal Soeharto konsep tersebut dibicarakan bersama empat panglima angkatan bersenjata.
·         Disaat belum tercapainya kesepakatan antara pemimpin ABRI, masalah pelengkap Nawaksara dan semakin  bertambah gawatnya konflik, pada tanggal 9 Februari 1967  DPR-GR mengajukan resolusi dan memorandum kepada MPRS agar sidang Istimewa dilaksanakan.
·         Tanggal 10 Februari 1967 Jend. Soeharto menghadap kepad presiden Soekarno untuk membicarakan masalah negara.
·         Pada tanggal 11 Februari 1967 Jend.Soharto mengajukan konsep yang bisa digunakan untuk mempermudah penyelesaian konflik. Konsep ini berisi tentang pernyataan presiden berhalangan atau presiden menyerahkan kekuasaan pemerintah kepada pemegang Supersemar sesuai dengan ketetapan MPRS No.XV/MPRS/1966, presiden kemudian meminta waktu untuk mempelajarinya.
·         Pada tanggal 12 Februari 1967, Jend.Soeharto kemudian bertemu kembali dengan presiden, presiden tidak dapat  menerima  konsep tersebut karena tidak menyetujui pernyataan yang isinya berhalangan.
·         Pada tanggal 13 Februari 1967, para panglima berkummpul kembali untuk membicarakan konsep yang telah telah disusun sebelum diajukan kepada presiden
·         Pada tanggal 20 Februari 1967 ditandatangani konsep ini oleh presiden setelah diadakan sedikit perubahan yakni pada pasal 3 di tambah dengan kata-kata menjaga dan menegakkan revolusi.
·         Pada tanggal 23 Februari 1967, pukul 19.30 bertempat di Istana Negara presiden /Mendataris MPRS/ Panglima tertinggi ABRI dengan resmi telah menyerahkan kekuasaan pemerintah kepada pengemban Supersemar yaitu Jend.Soeharto.
·         Pada bulan Maret 1967, MPRS mengadakan sidang istimewa dalam rangka mengukuhkan pengunduran diri Presiden Soekarno sekaligus mengangkat Jenderal Soeharto sebagai pejabat presiden RI.


b.Orde Baru
Akibat adanya pemberontakan Gerakan 30 September  timbulah reaksi  dari berbagai Parpol,Ormas,Mahasiswa dan kalangan pelajar. Pada tanggal 8 Oktober 1965 partai politik seperti IPTKI, NU, Partai Kristen Indonesia, dan organisasi massa lainnya melakukan apel kebulatan tekad untuk mengamankan Pancasila dan menuntut pembubaran PKI serta ormas-ormasnya. Pada tanggal 23 Oktober 1965 parpol yang anti komunis membentuk Front Pancasila dan di ikuti oleh pembentukan KAMI ( Kesatuan Aksi Mahasiswa Indonesia ), KAPI ( Kesatuan Aksi Pelajar Indonesia ), dan lain-lain. Pada tanggal 10 Januari 1966 KAMI mencetuskan TRITURA ( Tiga Tuntutan Rakyat ) “Bubarkan PKI dan ormas-ormasnya,Bersihkan kabinet dari unsur PKI,dan turunkan harga-harga”

Jatuhnya Pemerintahan Orde Baru.
Pemerintah Orde Baru selama 32 tahun, ternyata tidak konsisten dan konsekuen terhadap tekad awalnya muncul Orde Baru. Pada awalnya Orde Baru bertekad melaksanakan Pancasila dan UUD 1945 secara murni dan konsekuen dalam tatanan bermasyarakat, berbangsa, dan bertanah air.
Latar belakang munculnya tuntutan Soeharto agar mundur dari jabatannya atau yang menjadi titik awal berakhirnya Orde Baru.
·         Adanya krisis politik di mana setahun sebelum pemilu 1997, kehidupan politik Indonesia mulai memanas. Pemerintah yang didukung Golkar berusaha memepertahankan kemenangan mutlak yang telah dicapai dalam lima pemilu sebelumnya. PPP begitupun PDI ataupun Golkar dianggapa tidak mampu lagi memenuhi aspirasi politik masyarakat.
·         Adanya krisis ekonomi yang melanda Indonesia pada pertengahan Juli 1997. Sebenarnya krisis ini juga terjadi dibeberapa negara di Asia namun Indonesialah yang merasakan dampak yang paling buruk. Hal ini disebabkan karena pondasi perekonomian Indonesia rapuh, praktik KKN, dan monopoli ekonomi mewarnai pembangunan ekonomi Indonesia.
·         Adanya krisis Sosial, bersamaan dengan krisis ekonomi kekerasan di masyarakat semakin meningkat. Melonjaknya angka pengangguran. Kesenjangan ekonomi menyebabkan kecemburuan sosial di tengah masyarakat. Gerakan moral dalam aksi damai menuntut reformasi mulai ditunggangi berbagai kepentingan individu dan kelompok.
·         Pelaksanaan hukum di masa Orde Baru terdapat banyak ketidakadilan. Misalnya kekuasaan kehakiman yang dinyatakan dalam pasal 24 UUD 1945 bahwa kehakiman memilik kekuasaan yang merdeka dan terlepas dari kekuasaan pemerintahan. Namun pada kenyataannya kekuasaan kehakiman berada di bawah kekuasaan eksekutif.

Kronologi jatuhnya pemerintahan Orde Baru berawal dari terpilihnya kembali Soeharto sebagai presiden melalui sidang umum MPR yang berlangsung tanggal 1 – 11  Maret 1998, ternyata tidak menimbulkan dampak positif yang berarti bagi upaya pemulihan kondisi ekonomi bangsa justeru memperparah gejolak krisis. Dan gelombang aksi mahasiswa silih berganti menyuarakan beberapa agenda reformasi. Keberhasilan Pemerintahan Orde Baru dalam melaksanakan pembangunan ekonomi, harus diakui sebagai suatu prestasi besar bagi bangsa Indonesia. Di tambah dengan meningkatnya sarana dan prasarana fisik infrastruktur yang dapat dinikmati oleh sebagian besar masyarakat Indonesia. Namun, keberhasilan ekonomi maupun infrastruktur Orde Baru kurang diimbangi dengan pembangunan mental ( character building ) para pelaksana pemerintahan (birokrat), aparat keamanan maupun pelaku ekonomi (pengusaha / konglomerat). Kalimaksnya, pada pertengahan tahun 1997, korupsi, kolusi dan nepotisme (KKN) yang sudah menjadi budaya (bagi penguasa, aparat dan penguasa).
·         Faktor Penyebab Munculnya Reformasi
Banyak hal yang mendorong timbulnya reformasi pada masa pemerintahan Orde Baru, terutama terletak pada ketidakadilan di bidang politik, ekonomi dan hukum. Tekad Orde Baru pada awal kemunculannya pada tahun 1966 adalah akan melaksanakan Pancasila dan UUD 1945 secara murni dan konsekuen dalam tatanan kehidupan bermasyarakat, berbangsa dan bernegara.
1. Krisis Politik
Demokrasi yang tidak dilaksanakan dengan semestinya akan menimbulkan permasalahan politik. Ada kesan kedaulatan rakyat berada di tangan sekelompok tertentu, bahkan lebih banyak di pegang oleh para penguasa. Dalam UUD 1945 Pasal 2 telah disebutkan bahwa “Kedaulatan adalah ditangan rakyat dan dilaksanakan sepenuhnya oleh MPR”. Pada dasarnya secara de jure (secara hukum) kedaulatan rakyat tersebut dilakukan oleh MPR sebagai wakil-wakil dari rakyat, tetapi secara de facto (dalam kenyataannya) anggota MPR sudah diatur dan direkayasa, sehingga sebagian besar anggota MPR itu diangkat berdasarkan ikatan kekeluargaan (nepotisme). Keadaan seperti ini mengakibatkan munculnya rasa tidak percaya kepada institusi pemerintah, DPR, dan MPR. Ketidak percayaan itulah yang menimbulkan munculnya gerakan reformasi. Gerakan reformasi menuntut untuk dilakukan reformasi total di segala bidang, termasuk keanggotaan DPR dan MPR yang dipandang sarat dengan nuansa KKN. Gerakan reformasi juga menuntut agar dilakukan pembaharuan terhadap lima paket undang-undang politik yang dianggap menjadi sumber ketidakadilan, di antaranya :
  • UU No. 1 Tahun 1985 tentang Pemilihan Umum
  • UU No. 2 Tahun 1985 tentang Susunan, Kedudukan, Tugas dan Wewenang DPR / MPR
  • UU No. 3 Tahun 1985 tentang Partai Politik dan Golongan Karya.
  • UU No. 5 Tahun 1985 tentang Referendum
  • UU No. 8 Tahun 1985 tentang Organisasi Massa.

2. Krisis Hukum
Pelaksanaan hukum pada masa pemerintahan Orde Baru terdapat banyak ketidakadilan. Sejak munculnya gerakan reformasi yang dimotori oleh kalangan mahasiswa, masalah hukum juga menjadi salah satu tuntutannya. Masyarakat menghendaki adanya reformasi di bidang hukum agar dapat mendudukkan masalah-masalah hukum pada kedudukan atau posisi yang sebenarnya.

3. Krisis Ekonomi
Krisis moneter yang melanda Negara-negara di Asia Tenggara sejak bulan Juli 1996, juga mempengaruhi perkembangan perekonomian Indonesia. Ekonomi Indonesia ternyata belum mampu untuk menghadapi krisis global tersebut. Krisis ekonomi Indonesia berawal dari melemahnya nilai tukar rupiah terhadap dollar Amerika Serikat. Ketika nilai tukar rupiah semakin melemah, maka pertumbuhan ekonomi Indonesia menjadi 0% dan berakibat pada iklim bisnis yang semakin bertambah lesu. Kondisi moneter Indonesia mengalami keterpurukan yaitu dengan dilikuidasainya sejumlah bank pada akhir tahun 1997.
Sementara itu untuk membantu bank-bank yang bermasalah, pemerintah membentuk Badan Penyehatan Perbankan Nasional (KLBI). Ternyata udaha yang dilakukan pemerintah ini tidak dapat memberikan hasil, karena pinjaman bank-bank bermasalah tersebut semakin bertambah besar dan tidak dapat di kembalikan begitu saja. Krisis moneter tidak hanya menimbulkan kesulitan keuangan Negara, tetapi juga telah menghancurkan keuangan nasional. Faktor lain yang menyebabkan krisis ekonomi yang melanda Indonesia tidak terlepas dari masalah utang luar negeri. Utang Luar Negeri Indonesia Utang luar negeri Indonesia menjadi salah satu faktor penyebab munculnya krisis ekonomi. Namun, utang luar negeri Indonesia tidak sepenuhnya merupakan utang Negara, tetapi sebagian lagi merupakan utang swasta. Utang yang menjadi tanggungan Negara hingga 6 februari 1998 mencapai 63,462 miliar dollar Amerika Serikat, utang pihak swasta mencapai 73,962 miliar dollar Amerika Serikat. Akibat dari utang-utang tersebut maka kepercayaan luar negeri terhadap Indonesia semakin menipis. Keadaan seperti ini juga dipengaruhi oleh keadaan perbankan di Indonesia yang di anggap tidak sehat karena adanya kolusi dan korupsi serta tingginya kredit macet.
4. Krisis Kepercayaan
Demontrasi di lakukan oleh para mahasiswa bertambah gencar setelah pemerintah mengumumkan kenaikan harga BBM dan ongkos Elang Mulia Lesmana, Heri Hartanto, Hendriawan Lesmana, dan Hafidhin Royan. Tragedi Trisakti itu telah mendorong munculnya solidaritas dari kalangan kampus dan masyarakat yang menantang kebijakan pemerintahan yang dipandang tidak demokratis dan tidak merakyat. Soeharto kembali ke Indonesia, namun tuntutan dari masyarakat agar Presiden Soeharto mengundurkan diri semakin banyak disampaikan. Rencana kunjungan mahasiswa ke Gedung 12 DPR / MPR untuk melakukan dialog dengan para pimpinan DPR / MPR akhirnya berubah menjadi mimbar bebas dan mereka memilih untuk tetap tinggal di gedung wakil rakyat tersebut sebelum tuntutan reformasi total di penuhinya. Tekanan-tekanan para mahasiswa lewat demontrasinya agar Presiden Soeharto mengundurkan diri akhirnya mendapat tanggapan dari Harmoko sebagai pimpinan DPR / MPR. Maka pada tanggal 18 Mei 1998 pimpinan DPR/MPR mengeluarkan pernyataan agar Presiden Soeharto mengundurkan diri. Presiden Soeharto mengadakan pertemuan dengan tokoh-tokoh agama, tokoh-tokoh masyarakat di Jakarta. Kemudian Presiden mengumumkan tentang pembentukan Dewan Reformasi, melakukan perubahan kabinet, segera melakukan Pemilihan Umum dan tidak bersedia dicalonkan kembali sebagai Presiden.Dalam perkembangannya, upaya pembentukan Dewan Reformasi dan perubahan kabinet tidak dapat dilakukan. Akhirnya pada tanggal 21 Mei 1998 Presiden Soeharto menyatakan mengundurkan diri/berhenti sebagai Presiden Republik Indonesia dan menyerahkan Jabatan Presiden kepada Wakil Presiden Republik Indonesia, B.J. Habibie dan langsung diambil sumpahnya oleh Mahkamah Agung sebagai Presiden Republik Indonesia yang baru di Istana.




                       







III.             PENUTUP

1.      KESIMPULAN
Transisi menuju demokrasi adalah masa peralihan menuju masyarakat yang demokrasi. dalam transisi menuju demokrasi ada beberapa proses yang harus dilalui proses pertama adalah transformasi ini terjadi ketika elit yang berkuasa mempelopori proses perwujudan demokrasi. yang kedua replacement terjadi ketika kelompok Oposisi mempelopori proses perwujudan demokrasi di mana kemudian Rezim Otoriter tumbang atau digulingkan, yang ketiga adalah transplacement terjadi jika demokratisasi merupakan hasil dari tindakan yang dilakukan secara bersama-sama oleh kelompok pemerintah dan kelompok oposisi. Dalam masa transisi menuju demokrasi ada beberapa kendala yang akhirnya menimbulkan suatu permasalahan dalam suatu Negara, mulai dari masalah ekonomi,politik,budaya,dan lain sebagainya.

2.      DAFTAR PUSTAKA
pptpkn.com
suaramerdeka.com





0 komentar:

Posting Komentar

 
Copyright 2009 Note Diana. Powered by Blogger
Blogger Templates created by Deluxe Templates
Wordpress by Wpthemescreator